Sepenggal Kisah Seorang Ibu: Luka, Doa, dan Cahaya yang Tak Pernah Padam

Di sebuah desa terpencil di kaki gunung, jauh dari gemerlap kota, hiduplah Siti, seorang ibu dengan mata yang selalu memancarkan kehangatan meski hidupnya dipenuhi derai air mata. Suaminya, Rahman, pergi merantau ke kota lima tahun lalu, berjanji akan mengubah nasib keluarga. Tapi sejak itu, tak ada kabar—tidak sepucuk surat, tidak setumpuk rupiah. Hanya bayangan harap yang semakin pudar.

Setiap pagi sebelum fajar menyingsing, Siti sudah berjalan ke sawah, menggarap tanah orang lain demi segenggam beras. Tangannya kasar, kakinya penuh luka, tapi ia tak pernah mengeluh di depan anak-anaknya.

“Bu, kenapa Ayah tidak pulang-pulang?” tanya Hasan, anak sulungnya yang berusia 10 tahun, suatu malam.

Siti menatapnya, lalu memeluknya erat. “Ayah sedang berjuang untuk kita, Nak. Doakan saja.”

Tapi dalam hati, ia bertanya: “Apakah Rahman masih hidup? Ataukah ia telah melupakan kami?”

Malam itu, seperti biasa, ia menangis dalam diam sambil memandangi keempat anaknya yang tertidur. Tubuh mereka kurus, tapi mimpi mereka besar.

Musim kemarau datang. Sawah mengering, pekerjaan serabutan pun hilang. Siti terpaksa meminjam beras ke tetangga, berjanji akan mengembalikannya meski ia sendiri tak tahu caranya.

Suatu hari, Laila, anak bungsunya yang baru berusia 6 tahun, menggigil demam. Siti tak punya uang untuk membawanya ke puskesmas. Ia hanya bisa memeluknya sambil berdoa:

“Tuhan, cukup aku saja yang menderita. Jangan biarkan anak-anakku merasakan ini.”

Malam itu, ia berjalan kaki ke rumah kepala desa, memohon bantuan. Dengan air mata yang tak terbendung, ia bersujud di depan pintunya. “Tolong, anakku sakit…”

Kepala desa, yang mengenal ketabahan Siti, akhirnya memberinya sedikit uang untuk obat.

Hasan, yang melihat ibunya semakin kurus, diam-diam pergi ke pasar untuk bekerja sebagai kuli angkut. Ia pulang dengan tangan lecet dan baju kotor, lalu menyembunyikan uangnya di bawah bantal Siti.

Ketika Siti menemukannya, ia marah—tapi kemudian menangis. “Kau tidak boleh seperti Ibu, Nak! Kau harus sekolah!”

Hasan hanya memeluknya. “Aku mau bantu Ibu. Aku tidak mau lihat Ibu sakit lagi.”

Siti tercekat. Di matanya, Hasan tiba-tiba terlihat seperti Rahman di masa lalu—sama-sama ingin melindungi, tapi dengan cara yang berbeda.


Tahun-tahun berlalu. Hasan berhasil mendapatkan beasiswa ke kota. Adik-adiknya menyusul, bekerja sambil kuliah. Siti tetap di desa, masih menunggu kabar Rahman, meski perlahan ia mulai ikhlas.

Suatu hari, sebuah mobil mewah berhenti di depan gubuknya. Hasan turun, bersama adik-adiknya yang sudah menjadi sarjana. “Ibu, kami datang menjemput Ibu,” kata Hasan sambil tersenyum.

Siti terisak. “Tapi… rumah kita?”

“Rumah kita yang baru sudah menunggu,” jawab Laila, memegang tangan ibunya yang berkerut.

Di usia tuanya, Siti hidup berkecukupan. Tapi di sudut hatinya, ada satu pertanyaan yang tak pernah terjawab: “Ayahmu… di mana dia?”

Suatu malam, ia bermimpi tentang Rahman. Ia tersenyum dalam mimpi itu, seolah berkata: “Maafkan aku, Sit. Kau sudah melakukan segalanya sendiri.”

Ketika terbangun, ia mendapati bantalnya basah. Tapi pagi itu, ia melihat Hasan sedang memandikannya dengan air hangat, sambil berkata: “Ibu, sekarang giliran kami yang merawat Ibu.”

Siti tersenyum. Ia mungkin kehilangan seorang suami, tapi Tuhan menggantinya dengan empat anak yang penuh cinta.

 

💖 Pesan Moral:

  • Seorang ibu bisa lemah untuk dirinya, tapi tak pernah untuk anak-anaknya.
  • Kesuksesan anak adalah buah dari air mata dan doa orang tua.
  • Kadang, kehilangan mengajarkan kita arti ketangguhan sejati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *