Usaha dan Nasib

Sang Usaha dan sang Nasib saling berdebat:

Usaha: “Hasil kerja saya lebih besar dan lebih berguna dari kamu.”
Nasib: “Apa yang telah kamu lakukan untuk mengalahkan saya?”
Usaha: “Apakah manusia itu berumur panjang maupun pendek, kaya maupun miskin, gagal atau berhasil, semuanya ditentukan oleh saya?”
Nasib: “Banyak orang baik berumur pendek, sedangkan yang jahat berumur panjang. Orang yang korupsi lebih kaya daripada orang yang bekerja lebih keras. Yang malas lebih beruntung dari yang rajin. Yang pintar menjadi penganggur dan yang bodoh mendapatkan pekerjaan. Jika kamu benar-benar berpengaruh, kenapa kamu tidak membuat yang baik berumur lebih panjang, yang kerja keras lebih kaya, yang rajin lebih beruntung dan si pintar mendapatkan pekerjaan?”

Mendengar semua ini, Usaha tidak bisa membantah semua yang dikemukakan oleh Nasib.

Usaha: “Kamu benar, saya tidak mempunyai kuasa banyak untuk mempengaruhi semua ini. Ini semua terjadi karena kamu selalu salah memberikan petunjuk, dan kamu selalu memutar-balikkan nasib orang. Tampaknya kamu menyukainya apa yang kamu lakukan.”
Nasib: “Sebenarnya saya sendiri tidak dapat memaksa perjalan hidup manusia. Saya hanya mengantarkan mereka hingga di awal tangga agar mereka dapat menaiki tangga kehidupannya. Jika segalanya lancar tanpa halangan, saya antarkan agar mereka dengan mudah dapat menaiki tangga kehidupannya. Tetapi jika ditengah jalan mereka berubah pikiran, saya sendiri tidak dapat memaksakan kehendaknya. Akhirnya saya biarkan saja mereka mengikuti jalan pikirannya sendiri.”
Usaha: “Kalau demikian, kita berdua harus mengakui bahwa sebenarnya kita tidak dapat memaksakan jalan hidup manusia. Kita hanya dapat mengantar dan mendampinginya diawal tangga dan manusia sendiri yang memutuskan berapa anak tangga kehidupan yang akan mereka naiki.”
Nasib: “Memang benar. Walaupun kita telah bekerja secara maksimal, ternyata gambaran pikiran manusia memegang peranan yang lebih kuat. Sungguh kasihan, manusia tidak menyadari bahwa dirinya tidak lagi menjadi master kehidupannya. Mereka hanya sebagai budak dari pikirannya.”

Kemudian sang Nasib dan sang Usaha saling merangkul dan berpelukan. Mereka sadar bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini tidak lagi dihargai oleh manusia, dan akhirnya jerih payah mereka menjadi sia-sia.

Bukankah menaklukan musuh tidak selalu harus dengan kekerasan?

Kisah ini terjadi pada masa perang saudara di Amerika. Abraham Lincoln yang pada masa itu menjabat sebagai Presiden Amerika berada di sebuah resepsi. Di resepsi itu, Abraham Lincoln memberikan pidato mengenai pendapatnya tentang musuhnya dari pihak Selatan. Di dalam pidato tersebut Abraham Lincoln berkata, “Mereka-meraka adalah orang yang sedang membuat kesalahan. Mereka bukanlah musuh yang harus dibasmi“. Kalimat itu membuat beberapa orang tidak senang. Bahkan, saat itu ada seorang ibu-ibu dengan keras menegurnya. “Anda harusnya malu. Mereka telah bermusuhan dengan kita. Seharusnya Anda berpikir bagaimana menghancurkan para musuh itu!”. Lantas dengan tenang Abraham Lincoln berkata, “Nyonya. Bukankah kita sudah menghacurkan musuh kita dengan menjadikannya sebagai sahabat kita?”

Pikiran kita seringkali dikotori dengan keinginan kita untuk melumatkan dan menghancurkan musuh kita. Atau umumnya, keinginan melihat musuh kita menderita hidupnya. Bukankah menaklukan musuh tidak selalu harus dengan kekerasan?