Seandainya kalau manusia pertama itu orang Tionghoa

Seandainya Adam & Hawa adalah orang Tionghoa, namanya pasti akan menjadi “Athiam & Ahwa”.
Manusia pasti tidak akan jatuh dalam dosa, karena pada tahu lah… otak bisnis orang Tionghoa, begitu melihat buah apel pasti tidak akan dimakan tetapi djual di pasar, lumayaaaan cuan goceng. Ularnya pun nggak sempat menggoda, pasti akan ditangkep, lalu dimasak ular cah kumak untuk ciakpoh.
Hoo cuan… Hoo chiak… dan, yang pasti mereka takkan menelantarkan taman Eden kosong karena pasti dibangun ruko atau apartment jadi Taman Eden Residence.

Ckckckkk

Asal usul IMLEK

Pada dahulu kala, ketika nenek moyang datang dari dataran cina (Yunan). Pagi2 mereka sampai di pesisir batavia (betawi). Para pendatang tersebut disambut hangat oleh orang-orang betawi yang notabene adalah penduduk asli setempat. Namun orang betawi bingung, karena bangsa cina tersebut matanya sipit-sipit. Saking bingungnya mereka saling bertanya-tanya, apakah mereka merem atau melek?

Begitu orang-orang betawi mendekat, mereka baru menyadari bahwa orang-orang cina yang sipit tersebut bukan merem, melainkan mereka melek. Spontan orang-orang betawi kaget, “IH! MELEK!!! IH..! MELEK… IHHH…! MELEK…” Oleh karena itulah tahun baru cina dikenal juga dengan tahun baru IMLEK sampai dengan sekarang.

Pertapa dan Pelacur

Ada seorang pertapa tinggal di asrama yang secara kebetulan tepat berhadapan dengan rumah bordil di mana tinggal seorang pelacur. Setiap hari ketika pertapa akan melakukan meditasi, dia melihat para lelaki datang dan pergi dari rumah pelacur itu. Dia melihat pelacur itu sendiri menyambut dan mengantar tamu-tamunya. Setiap hari pertapa itu membayangkan dan merenungkan perbuatan memalukan yang berlangsung di kamar pelacur itu, dan hatinya dipenuhi oleh kebencian akan kebobrokan moral dari pelacur itu.

Di lain sisi, setiap hari pelacur itu melihat sang pertapa dalam praktek-praktek spiritualnya (sadhana). Dia berpikir betapa indahnya untuk menjadi demikian suci, untuk menggunakan waktu dalam doa dan meditasi. Tapi kemudian dia berpikir bahwa, “Nasibku memang menjadi pelacur. Ibuku dulu adalah seorang pelacur dan mungkin putriku nanti juga akan menjadi pelacur (karena keterpaksaan).”

Pertapa dan pelacur itu mati pada hari yang sama dan berdiri di depan Sang Hyang Yama bersama-sama. Tanpa diduga sama sekali, pertapa itu dicela karena kesalahannya. Pertapa heran dan dia protes, “Hidupku adalah hidup yang suci. Aku telah menghabiskan hari-hariku untuk doa dan meditasi.” “Ya betul,” kata Yama, “tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan suci itu, pikiran dan hatimu dipenuhi oleh penilaian jahat dan jiwamu dikotori oleh bayangan kebencian.”

Pelacur itu malah dipuji karena kebajikannya. “Saya tidak mengerti,” kata pelacur itu, “selama hidupku aku telah menjual tubuhku kepada setiap lelaki yang memberikan harga pantas.” Yama menjawab, “Lingkungan hidupmu menempatkan kamu dalam sebuah rumah bordil. Kamu lahir di sana, dan di luar kekuatanmu untuk melakukan selain dari hal itu. Tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan hina, pikiran dan hatimu selalu suci dan senantiasa dipusatkan dalam kontemplasi dan kesucian dari doa dan meditasi pertapa ini.”

Potongan kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri.
Chin Ning Chu memberi nasehat “Kebajikan bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang diberikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!”

Semoga semua makhluk berbahagia

Penagih dan Pembayar Karma (Karma bekerja dalam hidup seseorang)

Kisah ini menceritakan seorang tukang kayu yang hidup bersama istrinya di sebuah rumah sederhana di pinggiran hutan. Meskipun sudah lama menikah, namun mereka belum dikaruniai anak. Si tukang kayu adalah orang yang rutin bermeditasi. Karena dilatih setiap hari, konsentrasinya menjadi sangat kuat dan lama kelamaan indra pendengarannya pun semakin tajam. Kadang-kadang dia bisa mendengar suara-suara makhluk halus disekitarnya.

Suatu hari, seperti biasa si tukang kayu pergi ke gudang mengambil kapak dan setelah itu dia pergi ke hutan mencari kayu bakar. Ketika sedang membelah kayu, tiba-tiba dia mendengar suara anak-anak kecil sedang bercakap cakap.
“Hei, kamu mau kemana?”
“Saya mau ke rumah itu, saya mau menagih karma.”
“Oh, saya juga mau kesana, kalo saya sih mau bayar karma.”

Si tukang kayu hanya diam sambil melanjutkan pekerjaaannya seolah dia tidak mendengar apa-apa. Kemudian dia mengumpulkan kayu bakar yang sudah dibelah, mengikatnya menjadi satu dan mengusungnya ke rumah. Setibanya di rumah, betapa kagetnya dia ketika mendapati seorang tabib tengah memeriksa istrinya. Ternyata istrinya sedang hamil anak kembar. Si tukang kayu berpikir “Ah… pastilah dua anak kecil tadi yang masuk ke rahim istriku.”

Tahun berganti tahun, si kembar pun mulai tumbuh. Sejak kecil, sudah tampak perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Yang sulung malas dan nakal, yang bungsu rajin dan penurut. Seiring pertumbuhannya, si sulung terus menerus membuat masalah dan keributan bagi keluarganya. Banyak perbuatannya yang membuat si tukang kayu terpaksa harus menanggung malu. Tukang kayu pun berpikir “Pasti ini anak yang datang untuk menagih karma, makanya dia sering membuat aku susah dan malu. Baiklah, aku tidak mau anak ini terus menerus menagih karmanya sampai aku tua. Akan aku usir dia dari rumah.”
Akhirnya si sulung pun diusir dari rumah. Sekarang hanya tinggal si bungsu yang rajin dan penurut. Tidak ada lagi yang membuat keributan. Si tukang kayu dapat hidup dengan tentram dan damai, mencurahkan seluruh harapan dan kasih sayangnya kepada si bungsu.

Tahun berlanjut, rasa sayang kepada si bungsu semakin dalam, harapan pun semakin besar. Namun tiba tiba si bungsu jatuh sakit. Tukang kayu menghabiskan tabungannya untuk membayar tabib-tabib terbaik, membeli obat-obat terbaik, namun si bungsu belum sembuh juga. Karena tabungannya sudah habis, tukang kayu pun menjual sawah serta ternak peliharaannya untuk menambah biaya pengobatan. Tapi, penyakit anaknya ternyata sangat langka, belum pernah ada orang yang terserang penyakit seperti itu, para tabib mulai kebingungan dan akhirnya menyerah. Tukang kayu tidak kehabisan akal. Dia menjual rumah serta seluruh harta bendanya dan pergi keluar kota untuk mencari tabib lain. Demi kesembuhan anak kesayangannya, apapun akan dia lakukan. Tapi sampai di luar kota, dia memperoleh jawaban yang sama. Penyakit anaknya sangat langka. Belum ada obat untuk penyakit itu. Tak lama kemudian, di tengah kemelaratan dan keputus-asaan si tukang kayu, anaknyapun meninggal.

Tak terlukiskan lagi kepedihan dan kekecewaan yang dirasakan si tukang kayu. Ternyata, inilah anak yang datang untuk menagih karma. Tukang kayu sadar dia tidak bisa lari dari karmanya sendiri. Dulu dia berpikir, si sulung-lah yang datang untuk menagih karma, karena kenyataannya anak itu seringkali membuat masalah. Tukang kayu teringat kembali pada anak sulung yang telah diusirnya. Dia merasa sangat menyesal.

Sementara si sulung, setelah diusir dia pergi keluar kota, mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Dia bekerja dengan sangat rajin, sehingga dalam waktu singkat dia menjadi karyawan kepercayaan dan kesayangan majikannya. Setelah tabungannya cukup, dia berhenti dari pekerjaannya dan pulang ke kampung halaman untuk mencari orang tuanya. Meskipun telah diusir, tapi dia tidak mempunyai rasa dendam di hati, karena dia adalah anak yang datang untuk membayar karmanya. Si sulung akhirnya tiba di kampung halamannya. Dengan tabungan yang dia kumpulkan, dia membelikan rumah baru untuk orangtua sebagai keluarganya. Merekapun hidup dengan damai.

Karma seperti buah yang tergantung pada cabang pohon. Menunggu kematangannya pada waktu yang tepat, pada kondisi yang tepat. Dan saat buah itu matang, ia akan jatuh menimpa tanah dibawahnya.

Apakah tidak ada cara untuk menghapus karma buruk?

Kita tidak bisa menghapus karma buruk, tapi bisa membuat dampak buruknya menjadi lebih ringan. Caranya yaitu dengan memperbanyak berbuat kebajikan.
Seperti halnya segelas air garam yang sangat asin, jika ditambah dengan air tawar, sampai gelas itu tak mampu lagi menampung dan air mulai berceceran keluar, lama kelamaan air yang asin akan mengalir keluar dan yang tersisa di gelas hanyalah air tawar saja. Seperti itulah seharusnya yang kita lakukan dalam kehidupan kali ini. Entah sudah berapa banyak karma buruk yang telah kita lakukan. Dan sekarang, di kehidupan ini, di saat kita berkesempatan bertemu dengan Dhamma, seharusnya kita banyak berbuat kebajikan untuk mengurangi karma-karma buruk kita.

Dan ingatlah, jika ada buah karma buruk yang menimpa pada Anda, janganlah membalasnya, karena disaat Anda membalasnya, disitulah “karma buruk baru” tercipta. Relakan saja, dan berpikirlah positif: “Ah, karma burukku telah berkurang satu lagi.” Memang kedengarannya sangat susah untuk dijalankan.

Seberapa banyak dari kita yang bisa tetap baik dan bersahabat dengan orang yang telah mencuri, menipu, menganiaya dan memfitnah kita?

Tapi pernahkan Anda mencoba untuk tetap bertahan dengan tidak membalasnya, mencoba untuk berdamai dengan perasaan kecewa dan marah?
Cobalah sekali saja, berdiamlah dalam Dhamma, tutup rapat-rapat mulut Anda disaat hendak marah, disitulah Anda bertemu dengan Dhamma yang mengatakan:

Kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Kebencian baru akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi

Tidak di angkasa, di tengah lautan ataupun di dalam gua-gua gunung, tidak dimanapun seseorang dapat menyembunyikan dirinya dari akibat perbuatan-perbuatan jahatnya

KeBEBASan mana yang Anda dambakan?

Dua Guru yang dihormati diundang ke rumah seorang umatnya. Di ruang tamu tempat mereka menunggu terdapat berbagai jenis ikan hias. Guru yang lebih muda mengadukan bahwa memelihara ikan di akuarium itu bertentangan dengan prinsip agamanya mengenai belas kasih. Itu bagaikan memenjarakan mereka. Apa sih yang telah diperbuat oleh ikan-ikan itu sehingga mereka harus dikurung didalam tembok kaca?

Guru yang kedua tidak setuju. Memang benar, dia mengakui bahwa ikan-ikan itu tidak bebas menuruti kehendaknya, tetapi hidup di dalam akuarium membebaskan mereka dari begitu banyak marabahaya. Lalu dia menguraikan daftar kebebasan mereka, antara lain:
1. Pernahkah Anda melihat orang memancing ikan di akuarium di rumah seseorang? Tidak! Jadi, kebebasan pertama bagi ikan-ikan dalam akuarium adalah bebas dari ancaman para pemancing;
2. Ikan di alam bebas juga harus mencemaskan ancaman ikan besar yang akan memangsa mereka. Jadi, ikan dalam akuarium terbebas dari bahaya ikan predator (kanibal);
3. Dalam daur alamiahnya, ikan di alam bebas kadang tak memperoleh makanan. Namun bagi ikan di akuarium, hidup itu bagai tinggal di sebelah restoran. Dua kali sehari, makanan bergizi diantarkan ke depan pintu mereka. Jadi, ikan di dalam akuarium terbebas dari bahaya kelaparan;
4. Selama perubahan musim, sungai dan danau mengalami perubahan suhu yang ekstrim. Sungai dan danau menjadi sangat dingin pada musim dingin, sampai permukaannya tertutupi es. Pada musim panas, air bisa menjadi terlalu hangat untuk ikan, kadang bahkan sampai mengering. Namun, ikan dalam akuarium terbebas dari bahaya kedinginan dan kepanasan;
5. Di alam bebas, bila seekor ikan jatuh sakit, tak ada yang akan merawatnya. Namun, ikan dalam akuarium punya asuransi kesehatan gratis. Ikan dalam akuarium terbebas dari bahaya ketiadaan perlindungan kesehatan.

Guru kedua menyimpulkan sikapnya. Ada banyak keuntungan menjadi seekor ikan dalam akuarium, katanya “Memang benar, mereka tidak bebas menuruti kehendaknya dan berenang ke sana ke mari, tetapi mereka terbebas dari begitu banyak bahaya dan ketidaknyamanan. Guru tersebut melanjutkan penjelasannya bahwa itu sama seperti orang-orang yang hidup dalam kehidupan yang bajik. Benar, mereka tidak bebas mengikuti nafsunya dan seenaknya ke sana ke mari, tetapi mereka terbebas dari begitu banyak bahaya dan ketidaknyamanan.

Jadi, jenis kebebasan mana yang Anda dambakan?