Ilustrasi tipe-tipe manusia dalam menyambut peluang kesuksesan

Seorang salesman batu intan sedang berkeliling di sebuah tempat untuk menawarkan barang yang akan dijualnya. Akhirnya salesman ini tiba di rumah yang pertama, lalu mengetuk pintu. Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan muncullah pemilik rumah. Kemudian salesman tersebut menawarkan batu intan kepada si pemilik rumah, namun si pemilik rumah menolak mentah-mentah dengan mengatakan, “Untuk apa batu intan ini, saya tidak butuh batu jelek seperti ini.”

Akhirnya salesman itu pun pergi dan menuju rumah kedua. Setelah mengetuk pintu, si pemilik rumah kedua keluar. Lalu salesman tersebut menawarkan batu intannya. Setelah mendengar penjelasan salesman itu, si pemilik rumah akhirnya membeli sebuah batu intan. Namun setelah itu, ia bingung karena tidak tahu harus diapakan. Jadi, batu itu hanya diletakkan begitu saja.

Salesman itu kemudian mengunjungi rumah ketiga. Si pemilik rumah begitu senang saat melihat batu intan tersebut. Tanpa banyak bertanya, si pemilik rumah langsung memborong semua batu intan itu. Si salesman senang karena semua batunya habis terjual, namun si pemilik rumah lebih senang berkali lipat. Dengan semangat, batu-batu intan itu diubahnya menjadi berlian yang berkilau dan kemudian dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Manusia sama seperti ketiga pemilik rumah itu. Setiap saat, “batu intan” berupa peluang selalu menghampiri kita. Masalahnya bagaimana kita menyambut peluang itu.

Apakah kita seperti:
1. Pemilik rumah pertama, yang menolak peluang?
2. Pemilik rumah kedua, yang menerima peluang itu, namun hanya dibiarkan begitu saja?
atau
3. Pemilik rumah ketiga, yang menerima peluang itu, dan mengubahnya menjadi kesuksesan?

Anak yang tidak memiliki payung akan berusaha berlari

Suatu cerita dimana seorang anak yang disaat itu ayahnya sedang kebingungan mencari pinjaman kemana-mana untuk membiayai sekolahnya.
Hingga akhirnya ayahnya mendapatkan pinjaman sebesar 4533 yuan.
Ia tahu betul bahwa untuk membayar uang sekolahnya saja sudah harus keluar 4100 yuan.
Yang artinya, selama satu semester kedepan, uang dia hanya tersisa 433 yuan!
Ia juga sadar betul, ayahnya sudah berusaha sangat giat, dan tidak bisa memberinya lebih lagi.
“Pa, tenanglah, aku masih punya dua tangan dan dua kaki”, ucapnya sambil menghibur ayahnya.
Ia pun pergi meninggalkan ayahnya, melewati jalan gunung yang berkelok-kelok itu.
Saat hendak pergi, dia menangis.
Dengan sepatu karet setengah barunya, dia berjalan 120 mil di jalan gunung tersebut, lalu mengeluarkan uang 68 yuan untuk menaiki bus mencapai mimpinya, kuliah…!!!
Sesampainya di kampus, uang dia sekarang hanya tersisa 365 yuan.
5 bulan, 365 yuan, bagaimana cara mengaturnya agar dapat melewati satu semester ini?
Melihat orang-orang di sana dengan pakaian yang bermerek, serta headset yang tergantung di leher berlalu lalang.
Ia pun hanya bisa tersenyum menyapa mereka, namun tidak ada yang tahu, bahwa dalam hatinya sebenarnya sedang menangis.
Sehari hanya makan dua kali, dia membatasi satu porsi makanannya hanya boleh menghabiskan 2 yuan.
Sudah sehemat ini pun, masih tidak bisa membuat dia bertahan hingga semester berakhir.
Ia pun berpikir dengan keras, dengan hati yang keras, dia berlari menuju toko handphone, dan membeli sebuah handphone bekas seharga 150 yuan.
Selain dapat menerima telepon, handphone itu hanya memiliki fitur SMS.

Hari kedua kuliah, ada sebuah iklan kecil dengan tulisan tangan terpampang di mading kampus, bertuliskan:
“Anda butuh jasa joki?”
Jika Anda malas membeli makanan, mengisi air atau membayar tagihan telepon, silahkan hubungi saya via telepon, saya akan membantu Anda mengantarkan semua pesanan Anda dalam waktu yang singkat…!!!
– Jasa dalam sekolah: 1 yuan.
– Jasa di luar sekolah: 2 yuan.

Begitu iklan ini ditempel, handphone dia hampir tak berhenti berdering.
Seorang kakak kelas semester ke 7 ini menelepon: Saya malas, pagi-pagi tidak ingin pergi beli makan. Urusan ini saya serahkan pada mu.
“Baik!!! Setiap pagi jam 7 aku akan tepat waktu mengantarkan ke kamar mu.”

Belum selesai mencatat pesanan, telepon berbunyi lagi,
“Bisa tolong belikan sendal dan antar ke kamar 504. Nomor 41, yang anti bau.”
Ia adalah anak yang pintar. Belum lama masuk sekolah, dia menemukan hal yang menarik di dalam sekolah.
Semakin banyak orang-orang yang malas keluar kamar, dan memilih untuk seharian di kamar, baca buku, main game, bahkan untuk beli makan pun malas, terutama mahasiswa tahun 3 dan 4.
Terlebih lagi dia besar sebagai anak gunung, jalan berlubang dan berliku-liku membuat sepasang kakinya menjadi lincah dan cepat.
Naik ke lantai 5 atau 6 adalah hal yang mudah baginya.

Siang itu, ada seorang mahasiswa yang menelponnya untuk memintanya membelikan makanan di luar sekolah, harganya 15 yuan.
Sesaat setelah menutup telepon, dia segera pergi. Tidak sampai 10 menit, pesanan datang.
Mahasiswa itu pun memberikan 20 yuan kepadanya, dia mengembalikan 3 yuan. Karena harga untuk jasa di luar sekolah adalah 2 yuan, nama nya juga berbisnis, yang paling penting adalah mendapatkan kepercayaan orang!
Kemudian, karena keefektifan dan kepercayaan inilah, setiap orang yang ingin membeli barang akan teringat padanya.
Memiliki bisnis seramai ini benar-benar di luar ekspetasinya.
Suatu kali saat selesai kelas, begitu handphone dibuka, penuh dengan SMS pesanan yg bermacam-macam.

Siang itu, hujan begitu lebat, ada sebuah SMS dari seorang cewek di kampus.
Begitu menerima SMS tersebut, dia pun segera menerjang hujan.
Tanpa menunggu lama, dia mengantarkan pesanan cewek tersebut sambil memegang payung.

Cewek itu pun sangat terharu, dengan spontan cewek itu memeluknya!
Itu adalah pelukan pertama dari seorang cewek yang dia terima.
Saat mengucapkan terima kasih, dia tidak bisa menahan air matanya.

Semakin terkenalnya dia, bisnisnya pun semakin besar.
Setiap ada pesanan, dia pasti akan memberikan pelayanan tercepat dan terbaik.
Tak terasa satu semester pun berlalu. Saat liburan musim dingin, ayahnya masih kebingungan untuk mencari pinjaman uang lagi.
Ia memberikan 1000 yuan ke tangan ayahnya dan berkata: Pa, meski kamu tidak memberikan aku kekayaan, tapi kamu memberikan sepasang kaki yang kuat berlari.
Sepasang kaki ini pasti akan mampu berlari hingga akhir kuliah.

Tahun demi tahun berlalu, dia sekarang tidak berjuang sendiri.
Ia mengumpulkan banyak teman-teman dari keluarga yg kurang mampu dan menyediakan jasa joki untuk satu sekolah.
Cakupan dari jasa nya pun semakin luas, dari barang sehari-hari hingga peralatan elektronik.
Dalam satu semester ini, dia tidak hanya membeli laptop, di internet dia membuka sebuah grup besar untuk pelanggannya, dia juga di panggil oleh salah satu toko besar untuk menjadi distributor utama di sekolahnya.
Berlari, berlari dan tidak berhenti berlari. Jalannya kian sukses.
Ia berkata, kuliah 4 tahun, dia tidak hanya ingin mendapatkan gelar saja, namun juga ingin mengumpulkan sekarung emas.
Ia memberikan nilai pada sekarung emasnya, sebesar 500 ribu yuan, untuk menjadi modal usahanya kelak.

Ia bernama He Jia Nan.

Meski sudah menjadi distributor utama, namun dia tetaplah dia, yang masih sederhana, rajin, membantu mengisikan air dan menerima 1 yuan sebagai biaya jasa.
Ia adalah seorang lelaki yang berlari seperti angin.

Bagaimana dengan kamu? Akankah kamu terus mengeluh kepada orangtua mu?
Semoga kita atau anak kita nantinya juga dapat mandiri, sehat, dewasa dan berkembang.

Belajar menumbuhkan kejujuran dari ayah Dr. Arun Gandhi

Dr. Arun Gandhi, cucu mendiang Mahatma Gandhi bercerita, pada masa kecil ia pernah berbohong kepada ayahnya. Saat itu ia terlambat menjemput ayahnya dengan alasan mobilnya belum selesai diperbaiki, padahal sesungguhnya mobil telah selesai diperbaiki hanya saja ia terlalu asyik menonton bioskop sehingga lupa akan janjinya.

Tanpa sepengetahuannya sang ayah sudah menelpon bengkel lebih dulu sehingga sang ayah tahu ia berbohong.

Lalu wajah ayah tertunduk sedih, sambil menatap Arun sang ayah berkata, “Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki, sambil merenungkan di mana letak kesalahannya”

Dr. Arun berkata: “Sungguh saya begitu menyesali perbuatan saya tersebut. Sejak saat itu seumur hidup, saya selalu berkata jujur pada siapapun.”

“Seandainya saja saat itu ayah menghukum saya, mungkin saya akan menderita atas hukuman itu, dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tapi dengan tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah, meski tanpa kekerasan, justru memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah diri saya sepenuhnya.”

Para orangtua, mari kita membiasakan diri untuk selalu bertanya, “Apa yang salah dari saya, mengapa anak saya bisa seperti itu…?

Sepasang sepatu baru dari Tuhan

Pada suatu malam yang dingin di bulan Desember, seorang anak kecil bernama Johny, kira-kira berumur 10 tahun, berdiri di depan sebuah toko sepatu dengan telanjang kaki.

Dia mengintip ke jendela toko sambil menggigil kedinginan. Tiba-tiba seorang wanita mendekati Johny, “Anak kecil, apa yg sedang kamu perhatikan di jendela itu?”

“Aku sedang meminta kepada Tuhan supaya memberiku sepasang sepatu baru.”

Kemudian wanita itu memegang tangan Johny dan membawanya masuk ke dalam toko. Ia meminta pegawai toko untuk membawakan setengah lusin pasang kaus kaki untuk Johny. Setelah itu, ia bertanya kepada pegawai toko apakah bisa memberikan sebaskom air hangat dan handuk untuknya.

Pegawai toko segera memberikan apa yang diminta oleh wanita itu. Wanita itu kemudian membawa Johny ke bagian belakang toko, melepaskan sarung tangannya, berlutut, membasuh kaki Johny yang kecil itu dan mengeringkannya dengan handuk.

Sesaat kemudian pegawai toko datang dengan membawa beberapa kaos kaki. Wanita itu memakaikannya pada kaki Johny, ia juga membelikan Johny sepasang sepatu.

Dia mengikat sisa kaus kaki yang lain dan memberikannya kepada Johny. Ia menepuk kepala Johny dan berkata, “Tak usah khawatir, kamu akan merasa lebih nyaman sekarang.”

Pada saat wanita itu hendak pergi, si Johny kecil yang masih terheran-heran itu menarik tangannya dan memperhatikan wajahnya.

Dengan berderai air mata karena terharu, Johny berkata, “Apakah Anda keluarga Tuhan?”

Wanita itu sungguh terharu. Matanya berkaca-kaca sampai tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Kita semua adalah ciptaan Tuhan. Apakah setiap pikiran, ucapan dan tindakan kita bisa menuntun orang lain untuk bisa melihat dan merasakan bahwa ada Tuhan dalam hidup kita?

Mungkin Tuhan ingin memakai kita untuk menjawab doa seseorang. Maka kendalikanlah hidup kita.

Usaha dan Nasib

Sang Usaha dan sang Nasib saling berdebat:

Usaha: “Hasil kerja saya lebih besar dan lebih berguna dari kamu.”
Nasib: “Apa yang telah kamu lakukan untuk mengalahkan saya?”
Usaha: “Apakah manusia itu berumur panjang maupun pendek, kaya maupun miskin, gagal atau berhasil, semuanya ditentukan oleh saya?”
Nasib: “Banyak orang baik berumur pendek, sedangkan yang jahat berumur panjang. Orang yang korupsi lebih kaya daripada orang yang bekerja lebih keras. Yang malas lebih beruntung dari yang rajin. Yang pintar menjadi penganggur dan yang bodoh mendapatkan pekerjaan. Jika kamu benar-benar berpengaruh, kenapa kamu tidak membuat yang baik berumur lebih panjang, yang kerja keras lebih kaya, yang rajin lebih beruntung dan si pintar mendapatkan pekerjaan?”

Mendengar semua ini, Usaha tidak bisa membantah semua yang dikemukakan oleh Nasib.

Usaha: “Kamu benar, saya tidak mempunyai kuasa banyak untuk mempengaruhi semua ini. Ini semua terjadi karena kamu selalu salah memberikan petunjuk, dan kamu selalu memutar-balikkan nasib orang. Tampaknya kamu menyukainya apa yang kamu lakukan.”
Nasib: “Sebenarnya saya sendiri tidak dapat memaksa perjalan hidup manusia. Saya hanya mengantarkan mereka hingga di awal tangga agar mereka dapat menaiki tangga kehidupannya. Jika segalanya lancar tanpa halangan, saya antarkan agar mereka dengan mudah dapat menaiki tangga kehidupannya. Tetapi jika ditengah jalan mereka berubah pikiran, saya sendiri tidak dapat memaksakan kehendaknya. Akhirnya saya biarkan saja mereka mengikuti jalan pikirannya sendiri.”
Usaha: “Kalau demikian, kita berdua harus mengakui bahwa sebenarnya kita tidak dapat memaksakan jalan hidup manusia. Kita hanya dapat mengantar dan mendampinginya diawal tangga dan manusia sendiri yang memutuskan berapa anak tangga kehidupan yang akan mereka naiki.”
Nasib: “Memang benar. Walaupun kita telah bekerja secara maksimal, ternyata gambaran pikiran manusia memegang peranan yang lebih kuat. Sungguh kasihan, manusia tidak menyadari bahwa dirinya tidak lagi menjadi master kehidupannya. Mereka hanya sebagai budak dari pikirannya.”

Kemudian sang Nasib dan sang Usaha saling merangkul dan berpelukan. Mereka sadar bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini tidak lagi dihargai oleh manusia, dan akhirnya jerih payah mereka menjadi sia-sia.