Kami adalah edisi terbatas!

Suatu hari seorang cucu bertanya kepada kakeknya:

“Kakek, bagaimana kamu dapat hidup sebelumnya…

– Tanpa teknologi
– Tanpa internet
– Tanpa komputer
– Tanpa drones
– Tanpa bitcoin (uang virtual)
– Tanpa handphone (ponsel)
– Tanpa Facebook (media sosial)”

Kakeknya menjawab:

“Sama halnya dengan generasi yang hidup sekarang…

– Tanpa rasa kemanusiaan (rendahnya rasa kemanusiaan)
– Tanpa martabat (rendahnya martabat)
– Tanpa kasih sayang
– Kurangnya rasa malu
– Tanpa kehormatan
– Tanpa rasa hormat
– Tanpa jati diri
– Tanpa karakter
– Tanpa cinta
– Tanpa kesopanan”

“Kami yang saat ini kamu panggil ‘Tua’, telah di berkahi, perjalanan hidup kami adalah suatu ujian.”

“Ketika bersepeda kami tidak pernah menggunakan helm.”

“Setelah pulang sekolah kami mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) kami dan selalu pergi main ke padang rumput sampai senja.”

“Kami bermain dengan teman yang nyata bukan teman di internet.”

“Jika kami merasa haus, kami minum dari air mancur dan bukan dari air mineral kemasan botol.”

“Kami tidak pernah merasa kuatir akan sakit (jijik) ketika minum dari gelas yang sama dengan teman.”

“Kami tidak bertambah gemuk walaupun makan roti dan pasta setiap hari.”

“Tidak ada yang terjadi dengan kaki kami walaupun kami berjalan dengan kaki telanjang (tanpa menggunakan alas kaki).”

“Kami membuat mainan dengan tangan kami sendiri dan asik bermain dengan itu.”

“Orang tua kami tidak kaya tapi mereka memberikan begitu banyak cinta dan bukannya video game untuk membuat kami menjadi anak baik.”

“Kami tidak pernah memiliki handphone (ponsel), DVD, Play Stations, Xbox, komputer dan internet. Namun kami memiliki teman yang nyata.”

“Kami mengunjungi rumah teman kami tanpa harus mereka undang dan bercengkrama dengan mereka sambil menikmati roti & kue.

“Orang-orang dewasa tinggal berdekatan agar dapat menikmati (menghabiskan) waktu sesama mereka.”

“Kami mungkin memiliki foto hitam putih, namun kami menemukan kenangan yang begitu berwarna pada foto tersebut.”

“Kami adalah generasi yang unik dan lengkap, karena kami adalah generasi terakhir yang taat (mendengarkan) orang tua dan yang pertama yang mendengar dari anak-anaknya.”

“Kami adalah edisi terbatas!”

Tradisi membuang orang tua

Pada dahulu kala di Jepang pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan. Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya.

Pada suatu hari ada seorang pemuda yang berniat membuang ibunya ke hutan, karena si Ibu telah lumpuh dan agak pikun.

Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si anak menurunkan Ibu tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap Ibunya.

Justru si Ibu yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata: “Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa Ibu selalu merawatmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikitpun. Tadi Ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu takut kau tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai dirumah”

Setelah mendengar kata-kata tersebut, si anak menangis dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggendongnya untuk membawa si Ibu pulang ke rumah.

Pemuda tersebut akhirnya merawat Ibu yang sangat mengasihinya sampai Ibunya meninggal.

“Orang tua” bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Karena pada saat engkau sukses atau saat engkau dalam keadaan susah, hanya “orang tua” yang mengerti kita dan batinnya akan menderita kalau kita susah. “Orang tua” kita tidak pernah meninggalkan kita, bagaimanapun keadaan kita, walaupun kita pernah kurang ajar kepada orang tua. Namun Bapak dan Ibu kita akan tetap mengasihi kita.

Mari kita merenungkan, apa yang telah kita berikan untuk orang tua kita, nilai berapapun itu pasti dan pasti tidak akan sebanding dengan pengorbanan ayah ibu kita.

Pengusaha baja / Pemilik PT. Artha Mas Graha Andalan.
Ketika ditanya rahasia suksesnya menjadi Pengusaha, jawabnya singkat:
“Jadikan orang tuamu Raja, maka rezeki mu seperti Raja”.

Pengusaha yang kini tinggal di Cikarang ini pun bercerita bahwa orang hebat dan sukses yang ia kenal semuanya memperlakukan orang tuanya seperti Raja.

Mereka menghormati, memuliakan, melayani dan memprioritaskan orang tuanya.
Lelaki asal Banyuwangi ini bertutur, “Jangan perlakukan Orang tua seperti Pembantu”.

Atau orang tua diminta merawat anak kita sementara kita sibuk bekerja.

Bila ini yang terjadi maka rezeki orang itu adalah rezeki pembantu, karena ia memperlakukan orang tuanya seperti pembantu.

Walau suami / istri bekerja, rezekinya tetap kurang bahkan nombok setiap bulannya.

Menurut sebuah lembaga survey yang mengambil sampel pada 700 keluarga di Jepang, anak-anak yang sukses adalah: mereka yang memperlakukan dan melayani orang tuanya seperti seorang Kaisar.

Dan anak-anak yang sengsara hidupnya adalah mereka yang sibuk dengan urusan dirinya sendiri dan kurang perduli pada orang tuanya.

Mari terus berusaha keras agar kita bisa memperlakukan orang tua seperti Raja. Buktikan dan jangan hanya ada di angan-angan.

Beruntunglah bagi yang masih memiliki orang tua, masih BELUM TERLAMBAT untuk berbakti.

Uang bisa dicari, ilmu bisa di gali, tapi kesempatan untuk mengasihi orang tua kita takkan terulang kembali.

Semoga Tuhan memberkati kita semua.

2 orang kakak beradik yang berbeda ibu

Alkisah di China, terdapat 2 orang kakak beradik yang berbeda ibu.

Ibu si kakak sudah lama meninggal. Kini dia tinggal bersama ayah, ibu tiri dan adik tirinya.

Sang kakak menanam pohon labu dan dengan rajin memeliharanya hingga tumbuh besar.

Suatu hari mereka mendengar kabar bahwa raja sedang sakit parah, tabib istana mengatakan bahwa labu kembar dapat menyembuhkan penyakit raja.

Maka diadakan sayembara, barang siapa yang memiliki labu kembar akan mendapat satu peti emas.

Sang kakak segera memberitahu pada keluarganya.

Pada hari keberangkatan sang kakak ke ibukota, ibu memanggil si adik ke dalam dapur, “Ada 2 potong kue, yang polos dan bergambar bunga. Berilah kakakmu kue yang bergambar bunga, sebab ibu telah memberi racun di dalamnya.”

“Kenapa ibu ingin membunuh kakak? Bukankah ibu juga menyayangi kakak?”

“Ibu memang menyayanginya, tapi kamu adalah anakku dan ibu tidak rela bila kakakmu mendapatkan emas itu, maka biarlah dia memakan kue beracun ini.”

Kemudian si adik membawa kue itu ke kakaknya, “Adikku, tunggu kakak ya, kakak janji akan segera pulang dan membeli banyak oleh-oleh untukmu dari kota dan uang emas hadiahnya untuk kita bersama!”

Sang adik terdiam, kemudian berkata pada kakaknya, “Kakak, ibu memberi kita berdua kue, makanlah tapi aku ingin kue yang bergambar bunga.”

Setelah itu si adik dengan lahap memakan kue beracun itu.

Setelah kepergian kakaknya, dia berkata pada ibunya, “Ibu, kue beracun itu telah kumakan, kakak sangat baik kepadaku, mana mungkin aku tega membunuhnya. Setelah aku mati, sayangilah dia seperti ibu menyayangiku.”

Ibunya yang mendengarnya kemudian memeluknya, “Anakku, tidak ada racun sama sekali di kue bergambar bunga itu. Ibu hanya menguji rasa sayangmu pada kakakmu, ibu kuatir kamu menjadi iri dengan kemujuran kakakmu jika dia membawa banyak harta.”

Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.

Berjuanglah mengalahkan rasa Iri pada sesama.

Menuai Cinta di Hati

Sebuah cerita dari Tiongkok. Di sebuah daerah tinggal seorang saudagar kaya raya. Dia mempunyai seorang hamba yang sangat lugu, begitu lugu, hingga orang-orang menyebutnya si bodoh.

Suatu kali sang tuan menyuruh si bodoh pergi ke sebuah perkampungan miskin untuk menagih hutang para penduduk di sana. “Hutang mereka sudah jatuh tempo”, kata sang tuan.

“Baik Tuan…” sahut si bodoh. “Tetapi nanti uangnya mau diapakan?”

“Belikan sesuatu yang aku belum punyai” jawab sang tuan.

Maka pergilah si bodoh ke perkampungan yang dimaksud. Cukup kerepotan juga si bodoh menjalankan tugasnya, mengumpulkan receh demi receh uang hutang dari para penduduk kampung.

Para penduduk itu memang sangat miskin, dan pula ketika itu tengah terjadi kemarau panjang.

Akhirnya si bodoh berhasil juga menyelesaikan tugasnya. Dalam perjalanan pulang ia teringat pesan tuannya.

“Belikan sesuatu yang belum aku miliki.”
“Apa, ya?” tanya si bodoh dalam hati.
“Tuanku sangat kaya, apa lagi yang belum dia punyai?”

Setelah berpikir agak lama, si bodoh pun menemukan jawabannya. Dia kembali ke perkampungan miskin tadi. Lalu dia bagikan lagi uang yang sudah dikumpulkannya tadi kepada para penduduk.

“Tuanku, memberikan uang ini kepada kalian” katanya.
Para penduduk sangat gembira. Mereka memuji kemurahan hati sang tuan.

Ketika si bodoh pulang dan melaporkan apa yang telah dilakukannya, sang tuan geleng-geleng kepala. “Benar-benar bodoh” omelnya.

Waktu berlalu. Terjadilah hal yang tidak disangka-sangka, pergantian pemimpin karena pemberontakan membuat usaha sang tuan tidak semulus dulu.

Belum lagi bencana banjir yang menghabiskan semua harta bendanya.

Pendek kata sang tuan jatuh bangkrut dan melarat. Dia terlunta-lunta meninggalkan rumahnya. Hanya si bodoh yang ikut serta.

Ketika tiba di sebuah kampung, entah mengapa para penduduknya menyambut mereka dengan riang dan hangat, mereka menyediakan tumpangan dan makanan buat sang tuan.

“Siapakah para penduduk kampung itu, dan mengapa mereka sampai mau berbaik hati menolongku” tanya sang tuan.

“Dulu tuan pernah menyuruh saya menagih hutang kepada para penduduk miskin kampung ini” jawab si bodoh.

“Tuan berpesan agar uang yang terkumpul saya belikan sesuatu yang belum tuan punyai. Ketika itu saya berpikir, tuan sudah memiliki segala sesuatu. Satu-satunya hal yang belum tuanku punyai adalah cinta di hati mereka. Maka saya membagikan uang itu kepada mereka atas nama tuan. Sekarang tuan menuai cinta mereka.”

Salam Sejahtera…

Pertapa dan Pelacur

Ada seorang pertapa tinggal di asrama yang secara kebetulan tepat berhadapan dengan rumah bordil di mana tinggal seorang pelacur. Setiap hari ketika pertapa akan melakukan meditasi, dia melihat para lelaki datang dan pergi dari rumah pelacur itu. Dia melihat pelacur itu sendiri menyambut dan mengantar tamu-tamunya. Setiap hari pertapa itu membayangkan dan merenungkan perbuatan memalukan yang berlangsung di kamar pelacur itu, dan hatinya dipenuhi oleh kebencian akan kebobrokan moral dari pelacur itu.

Di lain sisi, setiap hari pelacur itu melihat sang pertapa dalam praktek-praktek spiritualnya (sadhana). Dia berpikir betapa indahnya untuk menjadi demikian suci, untuk menggunakan waktu dalam doa dan meditasi. Tapi kemudian dia berpikir bahwa, “Nasibku memang menjadi pelacur. Ibuku dulu adalah seorang pelacur dan mungkin putriku nanti juga akan menjadi pelacur (karena keterpaksaan).”

Pertapa dan pelacur itu mati pada hari yang sama dan berdiri di depan Sang Hyang Yama bersama-sama. Tanpa diduga sama sekali, pertapa itu dicela karena kesalahannya. Pertapa heran dan dia protes, “Hidupku adalah hidup yang suci. Aku telah menghabiskan hari-hariku untuk doa dan meditasi.” “Ya betul,” kata Yama, “tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan suci itu, pikiran dan hatimu dipenuhi oleh penilaian jahat dan jiwamu dikotori oleh bayangan kebencian.”

Pelacur itu malah dipuji karena kebajikannya. “Saya tidak mengerti,” kata pelacur itu, “selama hidupku aku telah menjual tubuhku kepada setiap lelaki yang memberikan harga pantas.” Yama menjawab, “Lingkungan hidupmu menempatkan kamu dalam sebuah rumah bordil. Kamu lahir di sana, dan di luar kekuatanmu untuk melakukan selain dari hal itu. Tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan hina, pikiran dan hatimu selalu suci dan senantiasa dipusatkan dalam kontemplasi dan kesucian dari doa dan meditasi pertapa ini.”

Potongan kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri.
Chin Ning Chu memberi nasehat “Kebajikan bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang diberikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!”

Semoga semua makhluk berbahagia