Yang Hidup Diabaikan, yang Meninggal Diratapi

Seekor ular menggigit seekor ayam. Dengan racun yang membakar tubuhnya, ayam itu mencari pertolongan dan perlindungan di kandang ayam.
Namun, ayam-ayam lain lebih memilih mengusirnya, karena takut racunnya akan menyebar ke seluruh kandang.

Ayam itu lemas, menangis kesakitan. Bukan karena gigitan ular, melainkan karena pengabaian dan penghinaan dari keluarganya sendiri, tepat ketika ia sangat membutuhkan mereka.
Ia pun pergi, tubuhnya demam dan terbakar, menyeret kaki yang lemah, rentan terhadap dinginnya malam.
Setiap langkah kakinya yang perlahan diiringi tetesan air mata.
Ayam-ayam di kandang memandangnya menjauh, hingga akhirnya ia lenyap di kejauhan.
Beberapa ayam berkata,
“Biarkan saja dia pergi; biarkan dia mati jauh dari kita.”

Dan ketika ayam itu benar-benar menghilang, mereka semua yakin bahwa ia telah mati.

Waktu pun berlalu.
Seekor burung kolibri datang ke kandang ayam dan mengumumkan,

“Saudarimu masih hidup. Ia tinggal di sebuah gua tak jauh dari sini.
Ia telah pulih, tetapi kehilangan satu kaki karena gigitan ular.
Ia mengalami kesulitan mencari makanan dan membutuhkan bantuan kalian.”

Semua ayam di kandang terdiam.
Lalu satu per satu dari mereka mulai mencari alasan:

“Aku tidak bisa pergi, aku sedang bertelur.”

“Aku tidak bisa pergi, aku hendak mencari jagung.”

“Aku tidak bisa pergi, aku harus menjaga anak-anakku.”

Maka, satu demi satu, semuanya menolak pergi mengunjungi ayam yang terluka itu.
Burung kolibri pun kembali ke gua, tanpa membawa bantuan apa pun.

Waktu kembali berlalu.
Burung kolibri itu datang lagi, kali ini membawa kabar menyedihkan:

“Saudarimu telah meninggal. Ia wafat sendirian di dalam gua.
Tak ada seorang pun yang menguburkannya, apalagi berkabung untuknya.”

Saat itu, suasana di kandang ayam berubah menjadi duka.
Keluhan mendalam memenuhi udara.
Yang tadinya bertelur, berhenti.
Yang tadinya mencari jagung, menghentikan pekerjaannya.
Yang tadinya merawat anak-anak, sejenak melupakan anak-anak mereka.

Timbullah rasa penyesalan di dalam hati mereka.
Penyesalan jauh lebih menyakitkan daripada racun apa pun.

“Mengapa kita tidak datang lebih awal?” tanya mereka.

Tanpa memedulikan jarak dan kesulitan, semua ayam pergi menuju gua, menangis dan mengeluh.
Kini mereka memiliki alasan untuk melihatnya, tetapi sudah terlambat.
Saat tiba di gua, mereka tak menemukan apa-apa.
Mereka hanya menemukan sebuah tulisan di dinding gua yang berbunyi:

“Dalam hidup, sering kali orang tidak mau menyeberang jalan untuk menolongmu ketika engkau masih hidup,
tetapi mereka akan menyeberangi dunia untuk melihat makammu ketika engkau telah mati.
Dan sebagian besar air mata di pemakaman bukan karena rasa sakit, melainkan karena penyesalan.”

Murid dari kehidupan & Guru dalam perjalanan

Kupu-kupu tidak tahu warna sayapnya, tetapi semua orang tahu betapa indahnya kupu-kupu.
Lebah tidak tahu manisnya madu, tetapi semua orang menyukainya.

Seperti kita yang tidak tahu betapa istimewanya diri kita, tetapi Tuhan tahu betapa berharganya kita di mata-Nya.

Di saat kita putus asa, tetaplah berharap.
Di saat kita tidak paham rencana Tuhan, tetaplah percaya.
Di saat kita tertekan, tetaplah bersyukur.
Di saat kita bingung menghadapi hidup, tetaplah berserah.
Di saat kita merasa benar tetapi disalahkan, tetaplah diam.
Di saat kita dikhianati, tetaplah mengasihi.
Di saat kita ingin menghakimi orang lain, tetaplah mengampuni.

Jika seribu celaan menghujam hati manusia, satu keikhlasan akan membuat kita bisa berdamai dengan hati.

Jika seribu hinaan memanaskan telinga manusia, satu akal sehat dapat membuat kita mengintrospeksi satu kelemahan diri.

Jika seribu penderitaan membuat banyak kehancuran bagi manusia, satu keyakinan akan membuat kita dimampukan secara iman untuk bisa melewatinya.

Jika seribu manusia membenci kita, satu introspeksi dapat mengubah sedikit demi sedikit suatu pola pikir serta perbaikan karakter diri.

Jika seribu kegagalan mengelilingi sepanjang hidup manusia, satu penerahan batin sangat diperlukan agar bisa belajar berbesar hati menjalaninya.

Jika ratusan bahkan ribuan kepedihan bertumpuk secara bersamaan dalam segala persoalan, maka dibutuhkan hanya satu ucapan syukur yang diisi rasa sabar yang tak terbatas besarnya.

Jadilah murid dari kehidupan dan jadilah guru dalam perjalanan.

Memahami yang Terbaik dari Binatang dan Alam

Minum di tempat kuda minum; mereka tidak pernah memilih air yang buruk.

Tidur di tempat kucing tidur; mereka mencari ketenangan dan kenyamanan.

Makanlah buah yang dipegang cacing tetapi tidak tembus; mereka selalu memilih buah yang paling matang.

Tanamlah pohonmu di tempat lalat menggali; tanah di sana subur.

Bangun rumahmu di tempat ular berjemur di bawah sinar matahari; tanah itu stabil dan tidak akan longsor.

Gali sumur di tempat burung-burung berteduh dari panas; di mana mereka beristirahat, air sudah dekat.

Bangun tidur bersama burung-burung; itulah jalan menuju kesuksesan.

Makanlah lebih banyak sayuran, maka kamu akan memiliki kaki yang kuat dan hati yang tangguh seperti binatang liar.

Berenanglah kapan pun kamu bisa, dan kamu akan merasa segar di air seperti ikan.

Sering-seringlah menatap langit, maka pikiranmu akan menjadi terang dan jernih.

Tetaplah tenang dan diam, maka kedamaian akan mengisi hatimu, membawa ketenangan bagi jiwamu.

Sepenggal Kisah Seorang Ibu: Luka, Doa, dan Cahaya yang Tak Pernah Padam

Di sebuah desa terpencil di kaki gunung, jauh dari gemerlap kota, hiduplah Siti, seorang ibu dengan mata yang selalu memancarkan kehangatan meski hidupnya dipenuhi derai air mata. Suaminya, Rahman, pergi merantau ke kota lima tahun lalu, berjanji akan mengubah nasib keluarga. Tapi sejak itu, tak ada kabar—tidak sepucuk surat, tidak setumpuk rupiah. Hanya bayangan harap yang semakin pudar.

Setiap pagi sebelum fajar menyingsing, Siti sudah berjalan ke sawah, menggarap tanah orang lain demi segenggam beras. Tangannya kasar, kakinya penuh luka, tapi ia tak pernah mengeluh di depan anak-anaknya.

“Bu, kenapa Ayah tidak pulang-pulang?” tanya Hasan, anak sulungnya yang berusia 10 tahun, suatu malam.

Siti menatapnya, lalu memeluknya erat. “Ayah sedang berjuang untuk kita, Nak. Doakan saja.”

Tapi dalam hati, ia bertanya: “Apakah Rahman masih hidup? Ataukah ia telah melupakan kami?”

Malam itu, seperti biasa, ia menangis dalam diam sambil memandangi keempat anaknya yang tertidur. Tubuh mereka kurus, tapi mimpi mereka besar.

Musim kemarau datang. Sawah mengering, pekerjaan serabutan pun hilang. Siti terpaksa meminjam beras ke tetangga, berjanji akan mengembalikannya meski ia sendiri tak tahu caranya.

Suatu hari, Laila, anak bungsunya yang baru berusia 6 tahun, menggigil demam. Siti tak punya uang untuk membawanya ke puskesmas. Ia hanya bisa memeluknya sambil berdoa:

“Tuhan, cukup aku saja yang menderita. Jangan biarkan anak-anakku merasakan ini.”

Malam itu, ia berjalan kaki ke rumah kepala desa, memohon bantuan. Dengan air mata yang tak terbendung, ia bersujud di depan pintunya. “Tolong, anakku sakit…”

Kepala desa, yang mengenal ketabahan Siti, akhirnya memberinya sedikit uang untuk obat.

Hasan, yang melihat ibunya semakin kurus, diam-diam pergi ke pasar untuk bekerja sebagai kuli angkut. Ia pulang dengan tangan lecet dan baju kotor, lalu menyembunyikan uangnya di bawah bantal Siti.

Ketika Siti menemukannya, ia marah—tapi kemudian menangis. “Kau tidak boleh seperti Ibu, Nak! Kau harus sekolah!”

Hasan hanya memeluknya. “Aku mau bantu Ibu. Aku tidak mau lihat Ibu sakit lagi.”

Siti tercekat. Di matanya, Hasan tiba-tiba terlihat seperti Rahman di masa lalu—sama-sama ingin melindungi, tapi dengan cara yang berbeda.


Tahun-tahun berlalu. Hasan berhasil mendapatkan beasiswa ke kota. Adik-adiknya menyusul, bekerja sambil kuliah. Siti tetap di desa, masih menunggu kabar Rahman, meski perlahan ia mulai ikhlas.

Suatu hari, sebuah mobil mewah berhenti di depan gubuknya. Hasan turun, bersama adik-adiknya yang sudah menjadi sarjana. “Ibu, kami datang menjemput Ibu,” kata Hasan sambil tersenyum.

Siti terisak. “Tapi… rumah kita?”

“Rumah kita yang baru sudah menunggu,” jawab Laila, memegang tangan ibunya yang berkerut.

Di usia tuanya, Siti hidup berkecukupan. Tapi di sudut hatinya, ada satu pertanyaan yang tak pernah terjawab: “Ayahmu… di mana dia?”

Suatu malam, ia bermimpi tentang Rahman. Ia tersenyum dalam mimpi itu, seolah berkata: “Maafkan aku, Sit. Kau sudah melakukan segalanya sendiri.”

Ketika terbangun, ia mendapati bantalnya basah. Tapi pagi itu, ia melihat Hasan sedang memandikannya dengan air hangat, sambil berkata: “Ibu, sekarang giliran kami yang merawat Ibu.”

Siti tersenyum. Ia mungkin kehilangan seorang suami, tapi Tuhan menggantinya dengan empat anak yang penuh cinta.

 

💖 Pesan Moral:

  • Seorang ibu bisa lemah untuk dirinya, tapi tak pernah untuk anak-anaknya.
  • Kesuksesan anak adalah buah dari air mata dan doa orang tua.
  • Kadang, kehilangan mengajarkan kita arti ketangguhan sejati.

Di Jepang, Tidak Ada Hari Guru

Suatu kali saya bertanya kepada Guru Yamamoto, kolega Jepang saya:
“Kapan Anda merayakan Hari Guru di Jepang, dan bagaimana perayaannya?”

Terkejut dengan pertanyaan saya, ia menjawab,
“Kami tidak memiliki perayaan Hari Guru.”

Mendengar jawabannya, saya sempat ragu untuk mempercayainya. Saya bertanya-tanya,
“Mengapa negara dengan kemajuan ekonomi, sains, dan teknologi seperti Jepang tidak memiliki penghargaan khusus bagi guru dan pekerjaan mereka?”

Suatu hari, sepulang kerja, Yamamoto mengundang saya ke rumahnya. Karena ia tinggal cukup jauh dari sekolah, kami menaiki kereta bawah tanah. Saat jam sibuk malam, kereta sangat penuh sesak. Saya merasa lelah dan berdiri sambil berpegangan erat pada tali pegangan. Tiba-tiba, seorang pria tua yang duduk di dekat saya menawarkan tempat duduknya.

Tidak memahami tindakan penuh hormat seperti itu dari orang yang lebih tua, saya sempat menolak, tetapi ia bersikeras. Akhirnya, saya pun duduk.

Setelah turun dari kereta, saya bertanya kepada Yamamoto mengenai kejadian tadi. Ia tersenyum dan menunjuk lencana guru yang saya kenakan, lalu berkata:
“Orang tua tadi melihat lencana gurumu dan memberikan kursinya sebagai bentuk penghormatan atas statusmu sebagai guru.”

Karena ini adalah kali pertama saya mengunjungi rumah Yamamoto, saya merasa tidak enak hati datang dengan tangan kosong. Saya pun memutuskan untuk membeli hadiah. Saya sampaikan niat tersebut kepadanya, dan ia mendukung,
“Ada toko khusus guru di depan, kamu bisa membeli barang dengan harga diskon di sana.”

Kembali saya merasa penasaran dan bertanya,
“Apakah diskon ini hanya berlaku untuk guru?”
Yamamoto mengangguk dan menjawab:
“Di Jepang, guru adalah profesi yang paling dihormati. Pengusaha merasa bangga saat guru mengunjungi toko mereka, dan mereka menganggapnya sebagai suatu kehormatan.”

Selama berada di Jepang, saya berkali-kali menyaksikan betapa besar penghormatan masyarakat terhadap para guru. Ada tempat duduk khusus bagi mereka di kereta, ada toko khusus, bahkan guru tidak perlu mengantre saat membeli tiket alat transportasi apa pun.

Dalam hati saya berpikir: Mengapa guru di Jepang memerlukan hari libur khusus, jika setiap hari dalam hidup mereka sudah merupakan perayaan?

Saat menceritakan kembali kisah ini, saya benar-benar berharap agar kita pun dapat tumbuh menjadi bangsa yang menghormati para guru dengan sebaik-baiknya. Mereka layak menyandang gelar yang tinggi karena dedikasinya yang luar biasa.

Semoga para guru senantiasa diberikan kesehatan dan kebijaksanaan dalam mendidik generasi penerus bangsa, serta mendapatkan penghormatan yang layak atas jasa-jasanya yang begitu mulia.

Biarkan kebanggaan berdetak di hati kita semua. Guru, kami tunduk dan menghormati jasamu!