Murid dari kehidupan & Guru dalam perjalanan

Kupu-kupu tidak tahu warna sayapnya, tetapi semua orang tahu betapa indahnya kupu-kupu.
Lebah tidak tahu manisnya madu, tetapi semua orang menyukainya.

Seperti kita yang tidak tahu betapa istimewanya diri kita, tetapi Tuhan tahu betapa berharganya kita di mata-Nya.

Di saat kita putus asa, tetaplah berharap.
Di saat kita tidak paham rencana Tuhan, tetaplah percaya.
Di saat kita tertekan, tetaplah bersyukur.
Di saat kita bingung menghadapi hidup, tetaplah berserah.
Di saat kita merasa benar tetapi disalahkan, tetaplah diam.
Di saat kita dikhianati, tetaplah mengasihi.
Di saat kita ingin menghakimi orang lain, tetaplah mengampuni.

Jika seribu celaan menghujam hati manusia, satu keikhlasan akan membuat kita bisa berdamai dengan hati.

Jika seribu hinaan memanaskan telinga manusia, satu akal sehat dapat membuat kita mengintrospeksi satu kelemahan diri.

Jika seribu penderitaan membuat banyak kehancuran bagi manusia, satu keyakinan akan membuat kita dimampukan secara iman untuk bisa melewatinya.

Jika seribu manusia membenci kita, satu introspeksi dapat mengubah sedikit demi sedikit suatu pola pikir serta perbaikan karakter diri.

Jika seribu kegagalan mengelilingi sepanjang hidup manusia, satu penerahan batin sangat diperlukan agar bisa belajar berbesar hati menjalaninya.

Jika ratusan bahkan ribuan kepedihan bertumpuk secara bersamaan dalam segala persoalan, maka dibutuhkan hanya satu ucapan syukur yang diisi rasa sabar yang tak terbatas besarnya.

Jadilah murid dari kehidupan dan jadilah guru dalam perjalanan.

Sepenggal Kisah Seorang Ibu: Luka, Doa, dan Cahaya yang Tak Pernah Padam

Di sebuah desa terpencil di kaki gunung, jauh dari gemerlap kota, hiduplah Siti, seorang ibu dengan mata yang selalu memancarkan kehangatan meski hidupnya dipenuhi derai air mata. Suaminya, Rahman, pergi merantau ke kota lima tahun lalu, berjanji akan mengubah nasib keluarga. Tapi sejak itu, tak ada kabar—tidak sepucuk surat, tidak setumpuk rupiah. Hanya bayangan harap yang semakin pudar.

Setiap pagi sebelum fajar menyingsing, Siti sudah berjalan ke sawah, menggarap tanah orang lain demi segenggam beras. Tangannya kasar, kakinya penuh luka, tapi ia tak pernah mengeluh di depan anak-anaknya.

“Bu, kenapa Ayah tidak pulang-pulang?” tanya Hasan, anak sulungnya yang berusia 10 tahun, suatu malam.

Siti menatapnya, lalu memeluknya erat. “Ayah sedang berjuang untuk kita, Nak. Doakan saja.”

Tapi dalam hati, ia bertanya: “Apakah Rahman masih hidup? Ataukah ia telah melupakan kami?”

Malam itu, seperti biasa, ia menangis dalam diam sambil memandangi keempat anaknya yang tertidur. Tubuh mereka kurus, tapi mimpi mereka besar.

Musim kemarau datang. Sawah mengering, pekerjaan serabutan pun hilang. Siti terpaksa meminjam beras ke tetangga, berjanji akan mengembalikannya meski ia sendiri tak tahu caranya.

Suatu hari, Laila, anak bungsunya yang baru berusia 6 tahun, menggigil demam. Siti tak punya uang untuk membawanya ke puskesmas. Ia hanya bisa memeluknya sambil berdoa:

“Tuhan, cukup aku saja yang menderita. Jangan biarkan anak-anakku merasakan ini.”

Malam itu, ia berjalan kaki ke rumah kepala desa, memohon bantuan. Dengan air mata yang tak terbendung, ia bersujud di depan pintunya. “Tolong, anakku sakit…”

Kepala desa, yang mengenal ketabahan Siti, akhirnya memberinya sedikit uang untuk obat.

Hasan, yang melihat ibunya semakin kurus, diam-diam pergi ke pasar untuk bekerja sebagai kuli angkut. Ia pulang dengan tangan lecet dan baju kotor, lalu menyembunyikan uangnya di bawah bantal Siti.

Ketika Siti menemukannya, ia marah—tapi kemudian menangis. “Kau tidak boleh seperti Ibu, Nak! Kau harus sekolah!”

Hasan hanya memeluknya. “Aku mau bantu Ibu. Aku tidak mau lihat Ibu sakit lagi.”

Siti tercekat. Di matanya, Hasan tiba-tiba terlihat seperti Rahman di masa lalu—sama-sama ingin melindungi, tapi dengan cara yang berbeda.


Tahun-tahun berlalu. Hasan berhasil mendapatkan beasiswa ke kota. Adik-adiknya menyusul, bekerja sambil kuliah. Siti tetap di desa, masih menunggu kabar Rahman, meski perlahan ia mulai ikhlas.

Suatu hari, sebuah mobil mewah berhenti di depan gubuknya. Hasan turun, bersama adik-adiknya yang sudah menjadi sarjana. “Ibu, kami datang menjemput Ibu,” kata Hasan sambil tersenyum.

Siti terisak. “Tapi… rumah kita?”

“Rumah kita yang baru sudah menunggu,” jawab Laila, memegang tangan ibunya yang berkerut.

Di usia tuanya, Siti hidup berkecukupan. Tapi di sudut hatinya, ada satu pertanyaan yang tak pernah terjawab: “Ayahmu… di mana dia?”

Suatu malam, ia bermimpi tentang Rahman. Ia tersenyum dalam mimpi itu, seolah berkata: “Maafkan aku, Sit. Kau sudah melakukan segalanya sendiri.”

Ketika terbangun, ia mendapati bantalnya basah. Tapi pagi itu, ia melihat Hasan sedang memandikannya dengan air hangat, sambil berkata: “Ibu, sekarang giliran kami yang merawat Ibu.”

Siti tersenyum. Ia mungkin kehilangan seorang suami, tapi Tuhan menggantinya dengan empat anak yang penuh cinta.

 

💖 Pesan Moral:

  • Seorang ibu bisa lemah untuk dirinya, tapi tak pernah untuk anak-anaknya.
  • Kesuksesan anak adalah buah dari air mata dan doa orang tua.
  • Kadang, kehilangan mengajarkan kita arti ketangguhan sejati.

Si Jenius dari Jepara yang Tersembunyi dan Disembunyikan dari Sejarah Bangsa

RM Panji Sosrokartono, sosok jenius bersahaja, pahlawan yang tersembunyi dan disembunyikan dari sejarah. Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, lahir pada tahun 1877. Pada tahun 1898, ia menjadi pribumi pertama yang menempuh pendidikan di luar Hindia Belanda, di Universitas Leiden. Dikenal sangat cerdas, Sosrokartono adalah kesayangan para dosen. Ia menguasai 27 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara.

Sebagai seorang pangeran tampan, pintar, gaul, anak orang kaya, dan terkenal, ia tetap merakyat. Bahkan, para wanita Eropa menjulukinya “de mooie Sos” (Sos yang tampan). Bangsawan Eropa dan Amerika menghormatinya dengan sebutan “de Javanese prins” (Pangeran Jawa), sementara di kalangan pribumi ia dikenal sebagai Kartono.

Pada tahun 1917, Sosrokartono menjadi wartawan Perang Dunia I untuk surat kabar Amerika The New York Herald di cabang Eropa. Untuk masuk, ia harus menyaring artikel berbahasa Prancis menjadi 30 kata dalam empat bahasa (Inggris, Spanyol, Rusia, dan Prancis). Kartono berhasil menyelesaikannya dengan hanya 27 kata, sementara penutur asli bule tidak bisa kurang dari 30 kata.

Sebagai wartawan perang, ia diberi pangkat mayor oleh Sekutu, namun ia menolak membawa senjata. “Saya tidak menyerang orang, karena itu saya pun tidak akan diserang. Jadi apa perlunya membawa senjata?” kata Sosrokartono yang dikenal sebagai ahli diplomasi yang hebat.

Sosrokartono mengguncang Eropa dan Amerika dengan tulisannya mengenai perundingan rahasia antara Jerman dan Prancis yang diadakan di dalam gerbong kereta api di tengah hutan yang dijaga sangat ketat. Sementara para wartawan lain mencari informasi, The New York Herald telah memuat hasil perundingan tersebut terlebih dahulu.

Pada tahun 1919, Sosrokartono menjadi penerjemah tunggal di Liga Bangsa-Bangsa (LBB), dan ketika LBB berubah menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1921, ia diangkat menjadi ketua penerjemah untuk semua bahasa, mengungguli para poliglot Eropa dan Amerika.

Pada tahun 1925, Sosrokartono pulang ke Indonesia. Ki Hajar Dewantara mengangkatnya sebagai kepala sekolah menengah di Bandung. Rakyat berbondong-bondong datang untuk menemuinya, namun bukan hanya untuk meminta ilmunya, melainkan juga air dan doa. Anehnya, banyak yang sembuh, sehingga antrian makin panjang, termasuk orang Eropa. Akhirnya, ia mendirikan Klinik Darussalam.

Sosrokartono pernah menyembuhkan seorang anak Eropa hanya dengan sentuhan (tuk-tuk) di hadapan para dokter yang tak mampu berbuat apa-apa. Anak tersebut sembuh hanya dalam hitungan detik.

Ia juga dikabarkan berhasil memotret kawah gunung dari udara, hebatnya, tanpa menggunakan pesawat. Sosoknya yang karismatik juga kerap menjadi teman diskusi Soekarno muda, dan Mohammad Hatta menyebutnya sebagai orang yang jenius.

Rumah Sosrokartono selalu dikibarkan bendera merah putih, namun Belanda, Jepang, dan Sekutu seolah tidak peduli, padahal orang lain yang melakukan hal yang sama pasti akan dihukum.

Sosrokartono wafat pada tahun 1951 di Bandung dan dimakamkan di Makam Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah, di samping makam kedua orang tuanya, Nyai Ngasirah dan RMA Sosroningrat. Meski seorang bangsawan dan cendekiawan, ia memilih hidup sederhana, bahkan rumahnya pun kontrak. Setelah wafat, orang-orang tidak menemukan pusaka atau jimat di rumahnya. Satu-satunya peninggalannya hanyalah kain bersulam huruf Alif.

Nisan beliau bertuliskan:
Sugih tanpa bondo.
Digdaya tanpa aji.

Beliau adalah wartawan, namun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak pernah menyebut namanya. Beliau adalah tokoh pendidikan, namun seolah terlupakan oleh para guru.

Sang Alif…
Alif sak jeroning Alif…

Sumber: Indonesia tempo dulu.

Semoga kisah hidup dan keteladanan RM Panji Sosrokartono dapat memberi inspirasi dan pembelajaran bagi kita semua.

Apa Rantai Gajahmu?

Gajah adalah hewan yang sangat besar, namun gajah dapat dibelenggu hanya dengan mengikat kakinya menggunakan rantai/tali pada sebuah kursi yang jauh lebih kecil. Gajah itu akan tetap diam dan tidak bergerak kemana-mana karena merasa kakinya terikat oleh rantai/tali. Padahal, dengan sedikit gerakan saja, ia sebenarnya bisa melepaskan diri dan berjalan bebas ke mana pun ia mau, karena kursi yang menahannya jauh lebih kecil daripada tubuhnya.

Ternyata, di tempat-tempat penjinakan gajah, memang begitulah caranya. Gajah liar yang tertangkap dan akan dijinakkan kakinya diikat dengan rantai/tali yang kemudian dikaitkan pada sebuah pohon besar. Pohon besar tersebut cukup kuat untuk menahan gajah sehingga ia tidak bisa melarikan diri. Pada awalnya, gajah yang menyadari keterikatannya akan berusaha melarikan diri dan mengamuk, namun pasti akan terjatuh karena tertahan oleh rantai/tali dan pohon. Ketika itu terjadi, pawangnya akan memberikan makanan. Awalnya, gajah liar yang tidak terbiasa dengan situasi tersebut akan menolak makan, tetapi karena tidak ada pilihan lain, akhirnya ia makan juga. Setiap hari, gajah terus diperlakukan seperti itu hingga akhirnya ia tidak lagi berontak karena merasa nyaman dengan makanan yang diberikan oleh pawangnya.

Gajah adalah hewan yang memiliki ingatan yang sangat kuat. Oleh karena itu, ia akan mengingat kebiasaan barunya. Lama-kelamaan, gajah menjadi penurut. Ia selalu ingat bahwa ada rantai/tali di kakinya; bahkan jika mencoba melarikan diri, ia akan terjerembab dan kemudian ada seseorang yang memberinya makan. Akhirnya, ia tunduk pada orang yang memberinya makan. Meskipun kemudian rantai/talinya diganti dan hanya diikatkan pada kursi kecil, gajah tersebut tidak akan mencoba kabur lagi.

Itulah kisah gajah dengan rantai/tali yang membelenggunya…

Bagaimana dengan manusia? Apakah kita berbeda dengan cerita gajah di atas? Ataukah manusia juga bisa diperlakukan sama seperti gajah tersebut dengan menanamkan pola pikir yang kerdil, yang pada akhirnya menjadi belenggu bagi manusia dalam menggunakan kemampuan besar yang dimilikinya untuk berkarya demi dirinya dan peradaban manusia?

Jangan biarkan “rantai/tali” dalam bentuk keraguan, ketakutan, atau kebiasaan buruk membelenggu potensi besar yang ada dalam diri kita. Ingatlah, Tuhan memberikan kita karunia untuk memiliki kekuatan dan kemampuan yang jauh lebih besar dari apa yang mungkin kita percayai saat ini. Seperti gajah yang sebenarnya bisa membebaskan dirinya dari belenggu kursi kecil, kita juga bisa membebaskan diri dari batasan-batasan yang kita ciptakan sendiri. Beranilah untuk melangkah keluar dari zona nyaman, lepaskan diri dari rantai/tali yang tak terlihat, dan wujudkan potensi besar yang ada dalam diri kita untuk mencapai tujuan-tujuan besar dalam hidup.

Pengorbanan seorang suami (bapak)

Apakah pernah melihat seorang istri marah-marah kepada suami karena sang suami tak bisa memenuhi keinginan sang istri?
Apakah pernah melihat juga seorang anak bicara kasar pada ayahnya karena sang ayah tidak bisa membelikan apa yang sang anak inginkan?

Tak seorang pun kepala keluarga yang tidak ingin melihat keluarganya bahagia.
Sebelum engkau marah kepadanya, lihatlah dan renungkan lah apa yang telah dilakukan oleh seorang suami.
Betapa suamimu sudah kerja keras banting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Tahukah dirimu kalau suamimu mungkin sering dicaci maki bosnya?
Tahukan dirimu kalau suamimu mungkin sering mendapat hinaan di luar sana?
Tahukah dirimu kalau suamimu mungkin sering menahan lapar demi bisa pulang membawa uang?
Tahukan dirimu kalau suamimu baru saja mempertaruhkan nyawanya demi dirimu dan anak-anakmu?

Sebelum engkau cemberut padanya…
Hitunglah dulu telah berapa juta tetes keringat yang keluar dari tubuhnya…
Sebelum engkau marah padanya…
Tataplah lekat-lekat matanya, mungkin tanpa kamu sadari mata itu telah banyak mengeluarkan air mata demi melihat dirimu tersenyu…

Ketahuilah…
Apabila sampai hari ini dia belum bisa memenuhi segala keinginanmu, itu hanya karena faktor keadaan.

Untuk para ayah disana, semoga lelahmu menjadi berkah. Amin…