Menafkahi orang tua (Ayah dan Ibu)

rang tua tidak takut miskin memberi nafkah pada anaknya saat membesarkan mereka.
Tapi tidak sedikit anak sering takut kekurangan saat menanggung orang tuanya di masa tuanya.

Lihat diri kita saat ini, sehebat apapun, suksespun setinggi langit, tapi tanpa doa restu orang tua yang membesarkan kita maka tidak akan ada ketenangan, keberkahan dan kebahagiaan dalam hidup.

Uang bisa dicari, ilmu bisa digali, jabatan bisa kita raih, tapi kesempatan untuk mengasihi orang tua takkan terulang kembali.

Satu Ibu, bisa merawat tujuh anaknya, tetapi tujuh orang anak belum tentu bisa membahagiakan satu orang Ibu.

Satu Ayah, bisa menghidupi tujuh anaknya, tetapi tujuh orang anak belum tentu dapat menghidupi satu orang Ayah.

Sesekali tengoklah orang tuamu, tatap wajahnya ketika ia terlelap tidur, lihat kerutan di wajahnya, lihat rambutnya yang kita mulai memutih, lihat badannya yang dulu tegap kini mulai membungkuk, semua telah berubah termakan waktu tapi tidak dengan kasih sayangnya…

Sudahkan kita membuatnya bahagia hari ini?
Sudahkan kita membuatnya tersenyum hari ini?

Tidak akan ada jasa yang mampu kita balas, tidak akan ada kebaikan yang mampu kita balas, semua begitu banyak dan begitu tulus.

Hadiahkanlah kebahagiaan untuk kedua orang tua kami atas segala pengorbanan dan kasih sayang yang telah mereka berikan.

Perlakukan orang tuamu dengan penuh hormat, maka niscaya Tuhan Allah akan membalas dengan melimpahkan rezeki yang berlimpah dan semakin berkah. Amin amin amin.

CINTA SEJATI

Orangtua saya telah menikah selama 55 tahun. Satu ketika dipagi hari, seperti biasa Ibu turun tangga untuk membuatkan sarapan untuk Bapak, tiba-tiba Ibu terkena serangan jantung dan terjatuh.
Bapak dengan cepat menghampiri, mengangkat Ibu dan memasukkan dalam mobil untuk bergegas ke rumah sakit.
Bapak membawa mobil dengan laju yang cepat agar segera tiba di rumah sakit.

Ketika sampai di rumah sakit, sayangnya Ibu sudah tiada.
Selama pemakaman, Bapak tidak berbicara sepatah kata pun. Tatapan mata Bapak kosong dan tidak mampu untuk meneteskan air mata.

Pada malam itu, anak-anaknya menemani Bapak.
Di dalam suasana sedih dan berusaha untuk mengenang masa nostalgia, Bapak bertanya kepada Kakak laki-laki saya yang seorang teolog, untuk memberi tahu Bapak di mana sekarang Ibu berada?

Bapak mendengar dengan seksama, dan tiba-tiba meminta kami untuk membawanya ke makam.
“Bapak! ini jam 11 malam, kita tidak bisa pergi ke makam”, kami menjawab.

Dia meninggikan suaranya dan dengan tatapan sayu dia berkata “Jangan berdebat dengan saya, tolong jangan berdebat dengan pria yang baru saja kehilangan istrinya selama 55 tahun.”

Suasana hening sejenak, kami tidak berdebat lagi. Kami pergi ke makam. Dengan senter kami mencapai makam Ibu.

Bapak duduk, berdoa dan memberitahu anak-anaknya “Ini sudah 55 tahun… Kamu tahu? Tidak ada seorang pun yang benar-benar dapat berbicara tentang cinta sejati jika belum pernah menjalani hidup bersama seseorang.”

Dia berhenti sejenak dan menyeka wajahnya.

“Dia (Ibu) dan saya (Bapak), kami bersama dalam suka dan duka.”, dia melanjutkan.
“Ketika saya berganti pekerjaan, kami berkemas, menjual rumah dan pindah. Kami berbagi kegembiraan melihat anak-anak kami menjadi orangtua, bersama-sama kami berduka atas kepergian orang-orang tercinta. Kami berdoa bersama di ruang tunggu beberapa rumah sakit, kami mendukung satu sama lain dalam kesakitan, kami berpelukan setiap hari, dan kami memaafkan kesalahan.”

Kemudian dia berhenti sejenak dan menambahkan, “Anak-anak, semuanya sudah berlalu dan Aku bahagia malam ini. Tahukah kalian kenapa Aku bahagia? Karena dia pergi sebelum Aku. Dia tidak harus melalui penderitaan dan rasa sakit karena menguburku, ditinggal sendirian setelah kepergianku. Akulah yang akan melaluinya, dan Aku bersyukur kepada Tuhan untuk itu. Aku sangat mencintainya sehingga aku tidak ingin dia menderita…”

Ketika Bapak selesai berbicara, kami meneteskan air mata. Kami memeluknya dan Bapak menghibur kami, “Tidak apa-apa. Kita bisa pulang. Ini hari yang baik.”

Malam itu saya mengerti apa itu CINTA SEJATI. Ini lebih dari sekedar romantisme dan seks, ini adalah dua orang yang berdiri berdampingan, yang berKOMITMEN satu dengan yang lainnya… Melalui semua hal baik dan buruk terjadi dalam hidup secara bersamaan dengan damai di hati.

Menjadi orangtua, tidak ada kata pensiun

Seorang anak menelepon ayahnya yang tinggal pisah rumah dengan ibunya.
Pagi itu, ibunya sakit dan tidak bisa mengantarnya ke sekolah seperti biasanya.
Jarak sekolahnya kurang lebih 1 Km dari rumah dan si anak bertubuh lemah.

Pagi itu jam 06:00 si anak menelepon ayahnya:

Anak: Ayah, tolong antarkan aku ke sekolah.
Ayah: Ibumu kemana?
Anak: Ibu sedang sakit ayah, tidak bisa mengantarkan aku ke sekolah. Kali ini ayahlah antarkan aku ke sekolah.
Ayah: Ayah tidak bisa, ayah nanti terlambat ke kantor. Kamu naik angkot saja atau ojek.
Anak: Ayah, uang ibu tinggal 10 ribu, ibu sakit, kami pun belum sarapan pagi, tidak ada apa-apa di rumah. Kalau aku pakai untuk ongkos, kasian ibu sakit belum makan, juga adik-adik nanti makan apa ayah?
Ayah: Ya sudah, kamu jalan kaki saja ke sekolah, ayah juga dulu ke sekolah jalan kaki. Kamu akan laki-laki harus kuat.
Anak: Ya sudah, terima kasih ayah.

Si anak mengakhiri teleponnya dengan ayahnya.
Dihapusnya air mata di sudut matanya, lalu berbalik masuk kamar, ketika ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum.

Ibu: Apa kata ayahmu nak?
Anak: Kata ayah iya ibu, ayah kali ini yang antar aku ke sekolah.
Ibu: Baguslah nak, sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki. Doakan ibu lekas sembuh ya, biar besok ibu bisa antar kamu ke sekolah.
Anak: Iya ibu, ibu tenang saja, ayah yang antar, ayah bilang aku tunggu di depan gang supaya cepat.
Ibu: Berangkatlah naik, belajar yang rajin, yang semangat.
Anak: Iya ibu.

Tahun berganti tahun, kenangan itu tertanam dalam di ingatan si anak.
Dia sekolah sampai pasca sarjana dengan biaya beasiswa.
Setelah lulus dia bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar.
Dengan penghasilannya, dia membiayai hidup ibunya, membantu menyekolahkan adik-adiknya sampai sarjana.

Suatu hari, saat dia sedang dikantor ayahnya menelepon.

Anak: Ada apa ayah?
Ayah: Nak, ayah sakit, tidak ada yang membantu mengantarkan ayah ke rumah sakit.
Anak: Memang istri ayah kemana?
Ayah: Sudah pergi nak sejak ayah sakit-sakitan.
Anak: Ayah, aku sedang kerja, ayah ke rumah sakit pakai taxi saja.
Ayah: Kenapa kamu begitu? Siapa yang akan urus pendaftaran di rumah sakit dan hal lainnya? Apakah supir taxi? Kamu anak ayah, masa orangtua sakit kamu tidak mau bantu mengurus?
Anak: Ayah, bukankah ayah yang mengajarkan aku untuk mengurus diri sendiri? Bukankah ayah yang mengajarkan aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri sakit dan anak?
Ayah, aku masih ingat, satu pagi aku menelepon ayah minta antarkan aku ke sekolah, waktu itu ibu sedang sakit, ibu yang selalu antarkan kami anak-anaknya, yang mengurus kami seorang diri, namun ayah katakan aku pergi jalan kaki, tubuhku lemah, sekolahku jauh, namun ayah katakan anak laki-laki harus kuat, dan ayah katakan ayah pun dulu berjalan kaki ke sekolah, maka aku belajar bahwa karena ayah lakukan demikian maka akupun harus lakukan hal yang sama. Saat aku sakit pun hanya ibu yang ada mengurusku, saat aku membutuhkan ayah, aku ingat kata-kata ayah, anak laki-laki harus kuat.

Ayah tahu? Hari itu pertama kali aku berbohong kepada ibu, aku katakan iya ayah yang akan antarkan aku ke sekolah, dan meminta aku menunggu di depan gang. Tapi ayah tahu? Aku jalan kali seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda, ibu bisa tahu aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku ke sekolah.

Ayah mengajarkan aku pekerjaan adalah yang utama, ayah mengajarkan aku kalau ayah saja bisa maka walau tubuhku lemah aku harus bisa.
Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka ayah pun harus bisa.

Si ayah terdiam seribu bahasa, sepi di seberang telepon.
Baru disadari betapa dalam luka yang ditorehkan di hati anaknya.

Anak adalah didikan orangtua.
Bagaimana kita bersikap, memperlakukan mereka, maka kita sama saja sedang mengajarkan bagaimana mereka memperlakukan kita kelak ketika kita tua dan renta.

Si anak dosa?
Mungkin…
Si anak durhaka?
Barangkali…

Yang jelas ayahnya yang membuat anaknya demikian.
Menjadi orangtua bukan karena menanamkan benih atau karena melahirkan.
Menjadi orangtua, karena mengasuh, mendidik, menyayangi, memberi waktu, perhatian, mengayomi, mencurahkan perhatian dan kasih sayang.

Menjadi orangtua, tidak ada kata pensiun.

Makna Kecerdasan

Di papan tulis, psikolog menggambar sebatang pohon kelapa di tepi pantai, lalu sebutir kelapa jatuh dari tangkainya.
Lalu psikolog bercerita, ada 4 anak yang mengamati fenomena alam jatuhnya buah kelapa ditepi pantai itu.

Anak ke 1: Dengan cekatan dia mengambil secarik kertas, membuat bidang segi tiga, menentukan sudut, mengira berat kelapa dan dengan rumus matematikanya anak ini menjelaskan hasil perhitungan ketinggian pohon kelapa serta energi potensial yang dihasilkan dari kelapa yang jatuh lengkap dengan persamaan matematikan dan fisika.

Lalu psikolog bertanya kepada siswanya: “Apakah anak ini cerdas?”, dijawab serentak sekelas … iya … Dia anak yang cerdas. Lalu psikolog melanjutkan cerita …

Anak ke 2: Dengan cekatan dia datang mengambil kelapa yang jatuh dan bergegas membawanya ke pasar, lalu menawarkan ke pedagang dan dia bersorak … yesss … laku Rp. 5.000,-

Kembali psikolog bertanya ke siswanya: “Apakah anak ini cerdas?”, dijawab serentak sekelas … iya … Dia anak yang cerdas. Lalu psikolog melanjutkan cerita …

Anak ke 3: Dengan cekatan dia datang mengambil kelapa yang jatuh dan dia bawa keliling sambil menanyakan, pohon kelapa itu milik siapa? Ini kelapanya jatuh, mau saya kembalikan kepada yang punya pohon tersebut.

Kembali psikolog bertanya ke siswanya: “Apakah anak ini cerdas?”, siswanya dengan mantap menjawab … iya … Dia anak yang cerdas. Lalu psikolog melanjutkan cerita kembali …

Anak ke 4: Dengan cekatan dia datang mengambil kelapa yang jatuh, kemudian dia melihat ada seorang kakek yang tengah kepanasan dan berteduh dipinggir jalan. “Kek, ini ada kelapa jatuh, tadi saya menemukannya, kakek boleh meminum dan memakan buah kelapanya”.

Untuk kesekian kali psikolog kembali bertanya ke siswanya: “Apakah anak ini cerdas?”, siswanya dengan mantap menjawab … iya … Dia anak yang cerdas.

Siswa-siswanya menyakini bahwa semua anak pada cerita diatas menunjukkan anak yang cerdas.
Mereka jujur mengakui bahwa setiap anak memiliki “Kecerdas-unikan-nya”.
Dan mereka ingin dihargai “Kecerdas-unikan-nya” tersebut…

Namun yang sering terjadi di dunia kita, dunia para orang tua dan pendidik menilai kecerdasan anak hanya dari satu sisi, yakni?

“Kecerdasan Akademik (Anak ke 1)”, lebih parahnya, kecerdasan yang dianggap oleh negara adalah kecerdasan anak pertama yang diukur dari nilai saat mengerjakan UN.
Sedangkan,

“Kecerdasan Finansial (Anak ke 2)”, “Kecerdasan Karakter (Anak ke 3)” dan “Kecerdasan Sosial (Anak ke 4)” belum ada ruang yang diberikan negara untuk mengakui kecerdasan mereka.

Anak teman-teman sekalian termasuk yang nomor berapa?

Anak anda semuanya adalah anak-anak yang cerdas dengan “Kecerdasan dan Keunikan-nya” masing-masing…
Hargai dan jangan samakan dengan orang lain atau bahkan dengan diri anda sendiri.
Mari hargai kecerdasan anak kita masing-masing dan siapkan mereka dengan 4 kecerdasan (Akademik, Finansial, Karakter dan Sosial) sebagai pedoman dimana mereka akan mengarungi lautan hidup kelak..

Tiap manusia lahir dengan kecerdasan dan keunikan masing-masing

Sumber: Indonesia Belajar Parenting

Kadang yang seolah-olah terlihat belum tentu seperti yang dipikirkan

Seorang gadis kecil sedang memegang dua buah apel dengan kedua tangannya. Sang ibu datang dan dengan halus bertanya sambil tersenyum: “Sayangku, boleh beri Ibu salah satu dari apel kamu?”

Gadis kecil tersebut memandang sang ibu beberapa saat, kemudian dengan cepat dia mengigit salah satu apelnya, lalu disusul apel yang lainnya.

Seketika sang ibu merasa senyum di mukanya membeku. Ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kekecewaannya.

Kemudian si gadis kecil menyodorkan salah satu dari apel-apel yang sudah digigit ke sang ibu, lalu berkata: “Ibu, ini ambil lah. Yang ini lebih manis dari yang satunya.”

Tidak peduli siapa anda, seberapa berpengalamannya anda dan sebagaimana anda pikir anda tahu segalanya, selalu tunda untuk menghakimi (orang lain). Berikan orang lain kesempatan untuk menjelaskan dirinya sendiri. Apa yang anda lihat mungkin bukanlah kenyataan yang terjadi seperti yang anda pikirkan.