Semua di dunia ini hanya sementara

Seorang Bapak kisaran usia 55 tahun duduk sendiri di sebuah lounge menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Sekira sekian menit, ia menyapa saya.

“Mas, hendak ke Jogja juga?”

“Iya, Pak. Bapak juga?”

“Iya.”

“Bapak sendiri?”

Senyumnya memasam sambil napas panjang. “Iya… Mas, kerja apa?”

“Saya serabutan, Pak,” sahut saya sekenanya.

“Serabutan tapi mapan, ya?” Ia tersenyum. “Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”

Saya tertegun. “Kok begitu, Pak?”

Ia pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja sebagai salah satu manajer di Amsterdam, di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah di Singapura.

Tepat pada saat ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di wilayah Pondok Indah, Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang pembantu dan suaminya yang sekaligus sopir pribadinya, ia menyeka kelopak mata dengan tisue.

“Mas jangan sampai mengalami hidup seperti saya, ya. Semua yang saya kejar selama muda kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit” sampai lalai mendidik anak tentang KEBAIKAN HATI, BERDANA BERBAGI, SILATURAHIM, dan MENGABDI PADA ORANG TUA.

Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya akan meninggal, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk. Iya, sibuk sekali…

“Bapak, Bapak yang sabar ya…” Adakah kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu?

Ia tersenyum kecut. Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya, Mas. Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni SANGKAN PARANING DUMADI.

BUKAN materi sebanyak apa pun. Saya yakin, semua yang kita miliki di dunia ini hanya sementara dan ketika kematian datang tidak ada yang bisa dibawa. Hidup hanyalah sementara dan kita tidak tahu di mana akan terlahir kembali.

Mas bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya.

Ia mengelus bahu saya. saya tiba-tiba teringat almarhum abah.

Di pesawat, seusai take off, saya melempar mata ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung bertimbun-timbun bagai permadani putih.

Semua manusia sungguh semata hanya sedang menunggu giliran dijemput maut. Manusia sama sekali tiada nilainya, tiada harganya, tiada pengaruhnya bagi jagat raya.

Belajar menumbuhkan kejujuran dari ayah Dr. Arun Gandhi

Dr. Arun Gandhi, cucu mendiang Mahatma Gandhi bercerita, pada masa kecil ia pernah berbohong kepada ayahnya. Saat itu ia terlambat menjemput ayahnya dengan alasan mobilnya belum selesai diperbaiki, padahal sesungguhnya mobil telah selesai diperbaiki hanya saja ia terlalu asyik menonton bioskop sehingga lupa akan janjinya.

Tanpa sepengetahuannya sang ayah sudah menelpon bengkel lebih dulu sehingga sang ayah tahu ia berbohong.

Lalu wajah ayah tertunduk sedih, sambil menatap Arun sang ayah berkata, “Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki, sambil merenungkan di mana letak kesalahannya”

Dr. Arun berkata: “Sungguh saya begitu menyesali perbuatan saya tersebut. Sejak saat itu seumur hidup, saya selalu berkata jujur pada siapapun.”

“Seandainya saja saat itu ayah menghukum saya, mungkin saya akan menderita atas hukuman itu, dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tapi dengan tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah, meski tanpa kekerasan, justru memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah diri saya sepenuhnya.”

Para orangtua, mari kita membiasakan diri untuk selalu bertanya, “Apa yang salah dari saya, mengapa anak saya bisa seperti itu…?