Tradisi membuang orang tua

Pada dahulu kala di Jepang pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan. Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya.

Pada suatu hari ada seorang pemuda yang berniat membuang ibunya ke hutan, karena si Ibu telah lumpuh dan agak pikun.

Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si anak menurunkan Ibu tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap Ibunya.

Justru si Ibu yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata: “Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa Ibu selalu merawatmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikitpun. Tadi Ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu takut kau tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai dirumah”

Setelah mendengar kata-kata tersebut, si anak menangis dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggendongnya untuk membawa si Ibu pulang ke rumah.

Pemuda tersebut akhirnya merawat Ibu yang sangat mengasihinya sampai Ibunya meninggal.

“Orang tua” bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Karena pada saat engkau sukses atau saat engkau dalam keadaan susah, hanya “orang tua” yang mengerti kita dan batinnya akan menderita kalau kita susah. “Orang tua” kita tidak pernah meninggalkan kita, bagaimanapun keadaan kita, walaupun kita pernah kurang ajar kepada orang tua. Namun Bapak dan Ibu kita akan tetap mengasihi kita.

Mari kita merenungkan, apa yang telah kita berikan untuk orang tua kita, nilai berapapun itu pasti dan pasti tidak akan sebanding dengan pengorbanan ayah ibu kita.

Pengusaha baja / Pemilik PT. Artha Mas Graha Andalan.
Ketika ditanya rahasia suksesnya menjadi Pengusaha, jawabnya singkat:
“Jadikan orang tuamu Raja, maka rezeki mu seperti Raja”.

Pengusaha yang kini tinggal di Cikarang ini pun bercerita bahwa orang hebat dan sukses yang ia kenal semuanya memperlakukan orang tuanya seperti Raja.

Mereka menghormati, memuliakan, melayani dan memprioritaskan orang tuanya.
Lelaki asal Banyuwangi ini bertutur, “Jangan perlakukan Orang tua seperti Pembantu”.

Atau orang tua diminta merawat anak kita sementara kita sibuk bekerja.

Bila ini yang terjadi maka rezeki orang itu adalah rezeki pembantu, karena ia memperlakukan orang tuanya seperti pembantu.

Walau suami / istri bekerja, rezekinya tetap kurang bahkan nombok setiap bulannya.

Menurut sebuah lembaga survey yang mengambil sampel pada 700 keluarga di Jepang, anak-anak yang sukses adalah: mereka yang memperlakukan dan melayani orang tuanya seperti seorang Kaisar.

Dan anak-anak yang sengsara hidupnya adalah mereka yang sibuk dengan urusan dirinya sendiri dan kurang perduli pada orang tuanya.

Mari terus berusaha keras agar kita bisa memperlakukan orang tua seperti Raja. Buktikan dan jangan hanya ada di angan-angan.

Beruntunglah bagi yang masih memiliki orang tua, masih BELUM TERLAMBAT untuk berbakti.

Uang bisa dicari, ilmu bisa di gali, tapi kesempatan untuk mengasihi orang tua kita takkan terulang kembali.

Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Lepaskan maka akan terasa nyaman

Alkisah ada suatu nasehat dari orang tua kepada anaknya.

Orang tua itu berkata kepada anaknya, “Tahan kepalan tanganmu dan katakan padaku apa yang kamu rasakan?”
Anak itu mengepalkan tangannya dengan kuat. “Terasa pegal/sakit!” katanya.

Orang tua: Coba kepalkan lebih kuat lagi!
Anak: Malah semakin pegal dan sakit! katanya mulai meringis.
Orang tua: Kalau begitu coba kamu lepaskan!
Anak: Terasa nyaman sekarang…

Orang tua: Saat kamu merasa lelah dan akan semakin lelah saat semakin kuat kamu mengepalkan tangan, maka pada saat itu, coba kamu lepaskan, kamu akan merasa jauh lebih nyaman!

Maknanya: Dalil yang sangat sederhana, lepaskan baru akan terasa nyaman (“Plonk”).

2 orang kakak beradik yang berbeda ibu

Alkisah di China, terdapat 2 orang kakak beradik yang berbeda ibu.

Ibu si kakak sudah lama meninggal. Kini dia tinggal bersama ayah, ibu tiri dan adik tirinya.

Sang kakak menanam pohon labu dan dengan rajin memeliharanya hingga tumbuh besar.

Suatu hari mereka mendengar kabar bahwa raja sedang sakit parah, tabib istana mengatakan bahwa labu kembar dapat menyembuhkan penyakit raja.

Maka diadakan sayembara, barang siapa yang memiliki labu kembar akan mendapat satu peti emas.

Sang kakak segera memberitahu pada keluarganya.

Pada hari keberangkatan sang kakak ke ibukota, ibu memanggil si adik ke dalam dapur, “Ada 2 potong kue, yang polos dan bergambar bunga. Berilah kakakmu kue yang bergambar bunga, sebab ibu telah memberi racun di dalamnya.”

“Kenapa ibu ingin membunuh kakak? Bukankah ibu juga menyayangi kakak?”

“Ibu memang menyayanginya, tapi kamu adalah anakku dan ibu tidak rela bila kakakmu mendapatkan emas itu, maka biarlah dia memakan kue beracun ini.”

Kemudian si adik membawa kue itu ke kakaknya, “Adikku, tunggu kakak ya, kakak janji akan segera pulang dan membeli banyak oleh-oleh untukmu dari kota dan uang emas hadiahnya untuk kita bersama!”

Sang adik terdiam, kemudian berkata pada kakaknya, “Kakak, ibu memberi kita berdua kue, makanlah tapi aku ingin kue yang bergambar bunga.”

Setelah itu si adik dengan lahap memakan kue beracun itu.

Setelah kepergian kakaknya, dia berkata pada ibunya, “Ibu, kue beracun itu telah kumakan, kakak sangat baik kepadaku, mana mungkin aku tega membunuhnya. Setelah aku mati, sayangilah dia seperti ibu menyayangiku.”

Ibunya yang mendengarnya kemudian memeluknya, “Anakku, tidak ada racun sama sekali di kue bergambar bunga itu. Ibu hanya menguji rasa sayangmu pada kakakmu, ibu kuatir kamu menjadi iri dengan kemujuran kakakmu jika dia membawa banyak harta.”

Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.

Berjuanglah mengalahkan rasa Iri pada sesama.

Semua di dunia ini hanya sementara

Seorang Bapak kisaran usia 55 tahun duduk sendiri di sebuah lounge menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Sekira sekian menit, ia menyapa saya.

“Mas, hendak ke Jogja juga?”

“Iya, Pak. Bapak juga?”

“Iya.”

“Bapak sendiri?”

Senyumnya memasam sambil napas panjang. “Iya… Mas, kerja apa?”

“Saya serabutan, Pak,” sahut saya sekenanya.

“Serabutan tapi mapan, ya?” Ia tersenyum. “Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”

Saya tertegun. “Kok begitu, Pak?”

Ia pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja sebagai salah satu manajer di Amsterdam, di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah di Singapura.

Tepat pada saat ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di wilayah Pondok Indah, Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang pembantu dan suaminya yang sekaligus sopir pribadinya, ia menyeka kelopak mata dengan tisue.

“Mas jangan sampai mengalami hidup seperti saya, ya. Semua yang saya kejar selama muda kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit” sampai lalai mendidik anak tentang KEBAIKAN HATI, BERDANA BERBAGI, SILATURAHIM, dan MENGABDI PADA ORANG TUA.

Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya akan meninggal, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk. Iya, sibuk sekali…

“Bapak, Bapak yang sabar ya…” Adakah kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu?

Ia tersenyum kecut. Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya, Mas. Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni SANGKAN PARANING DUMADI.

BUKAN materi sebanyak apa pun. Saya yakin, semua yang kita miliki di dunia ini hanya sementara dan ketika kematian datang tidak ada yang bisa dibawa. Hidup hanyalah sementara dan kita tidak tahu di mana akan terlahir kembali.

Mas bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya.

Ia mengelus bahu saya. saya tiba-tiba teringat almarhum abah.

Di pesawat, seusai take off, saya melempar mata ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung bertimbun-timbun bagai permadani putih.

Semua manusia sungguh semata hanya sedang menunggu giliran dijemput maut. Manusia sama sekali tiada nilainya, tiada harganya, tiada pengaruhnya bagi jagat raya.

Belajar menumbuhkan kejujuran dari ayah Dr. Arun Gandhi

Dr. Arun Gandhi, cucu mendiang Mahatma Gandhi bercerita, pada masa kecil ia pernah berbohong kepada ayahnya. Saat itu ia terlambat menjemput ayahnya dengan alasan mobilnya belum selesai diperbaiki, padahal sesungguhnya mobil telah selesai diperbaiki hanya saja ia terlalu asyik menonton bioskop sehingga lupa akan janjinya.

Tanpa sepengetahuannya sang ayah sudah menelpon bengkel lebih dulu sehingga sang ayah tahu ia berbohong.

Lalu wajah ayah tertunduk sedih, sambil menatap Arun sang ayah berkata, “Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki, sambil merenungkan di mana letak kesalahannya”

Dr. Arun berkata: “Sungguh saya begitu menyesali perbuatan saya tersebut. Sejak saat itu seumur hidup, saya selalu berkata jujur pada siapapun.”

“Seandainya saja saat itu ayah menghukum saya, mungkin saya akan menderita atas hukuman itu, dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tapi dengan tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah, meski tanpa kekerasan, justru memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah diri saya sepenuhnya.”

Para orangtua, mari kita membiasakan diri untuk selalu bertanya, “Apa yang salah dari saya, mengapa anak saya bisa seperti itu…?