GRUP juga adalah KELUARGA

Seorang pria, yang biasanya secara teratur rajin menghadiri pertemuan keluarga tiba-tiba tanpa pemberitahuan apapun mendadak berhenti berpartisipasi pada kelompok tersebut.

Setelah beberapa minggu berlalu, pada suatu malam yang sangat dingin, ketua dari kelompok keluarga tersebut memutuskan untuk mengunjunginya.

Dia menemukan pria itu di rumah sendirian, duduk di depan perapian api yang menyala.

Pria tersebut menyambut sang ketua. Beberapa saat berlalu, hanya ada keheningan diantara mereka.

Kedua pria itu hanya duduk diam menyaksikan nyala api menari-nari di sekitar batang kayu yang bergerak di perapian.

Setelah beberapa menit sang ketua, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, berdiri lalu memeriksa bongkah-bongkah kayu yang terbakar diperdiangan dan memilih salah satu yang paling menyala dan bersinar diantara bongkahan kayu lainnya, kemudian dengan penjepit dia memindahkannya ke samping perapian. Lalu dia duduk kembali.

Tuan rumah hanya duduk diam sambil memperhatikan semuanya dengan tertarik.

Tak lama kemudian, nyala api dari kayu yang disisihkan itu meredup dan lambat laun padam.

Dalam waktu singkat apa yang sebelumnya begitu terang dan panas berubah menjadi sepotong kayu mati, hitam tidak menarik.Sejak kedatangan sang ketua, tidak ada pembicaraan diantara mereka berdua, hanya beberapa patah kata yang terucap.

Sebelum bersiap untuk pamit dan pergi, sang ketua dengan penjepit tadi mengambil potongan kayu yang mati itu dan meletakkannya kembali di tengah kobaran api.

Dengan segera potongan kayu tersebut disambar oleh jilatan api yang panas, dan tak lama kemudian menyala lagi, terkena nyala api & panas bara api di sekitarnya.

Ketika sang ketua mencapai pintu untuk pergi, tuan rumah berkata: “Terima kasih atas kunjungan Anda dan pelajaran yang Anda berikan. Saya akan segera kembali datang ke pertemuan keluarga kita.”

Mengapa grup itu begitu penting? Sangat sederhana:

Karena setiap anggota yang menarik diri dari grup / kelompoknya akan mengurangi api semangat & kehangatan dari dirinya sendiri dan dari anggota lainnya.
Perlu diingatkan kepada anggota grup bahwa mereka adalah bagian dari nyala api itu, serta baik juga untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita semua bertanggung jawab untuk menjaga api tetap menyala, serta kita harus mendukung persatuan di antara grup kita sehingga apinya benar-benar kuat, efektif dan tahan lama.

GRUP juga adalah KELUARGA
Tidak masalah jika terkadang kita merasa terganggu oleh begitu banyak pesan-pesan, chat-chat, stiker-stiker dan gambar-gambar.
Yang penting adalah kita tetap terhubung. Kita berada dalam grup untuk bertemu, bersilaturahmi, belajar, bertukar ide, bergurau yang menambah imun tubuh atau sekadar untuk mengetahui bahwa kita tidak sendiri.

Hidup itu terasa lebih indah bila dilalui bersama teman & keluarga.

Mari kita jaga terus nyala api ini.

Semua di dunia ini hanya sementara

Seorang Bapak kisaran usia 55 tahun duduk sendiri di sebuah lounge menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Sekira sekian menit, ia menyapa saya.

“Mas, hendak ke Jogja juga?”

“Iya, Pak. Bapak juga?”

“Iya.”

“Bapak sendiri?”

Senyumnya memasam sambil napas panjang. “Iya… Mas, kerja apa?”

“Saya serabutan, Pak,” sahut saya sekenanya.

“Serabutan tapi mapan, ya?” Ia tersenyum. “Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”

Saya tertegun. “Kok begitu, Pak?”

Ia pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja sebagai salah satu manajer di Amsterdam, di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah di Singapura.

Tepat pada saat ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di wilayah Pondok Indah, Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang pembantu dan suaminya yang sekaligus sopir pribadinya, ia menyeka kelopak mata dengan tisue.

“Mas jangan sampai mengalami hidup seperti saya, ya. Semua yang saya kejar selama muda kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit” sampai lalai mendidik anak tentang KEBAIKAN HATI, BERDANA BERBAGI, SILATURAHIM, dan MENGABDI PADA ORANG TUA.

Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya akan meninggal, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk. Iya, sibuk sekali…

“Bapak, Bapak yang sabar ya…” Adakah kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu?

Ia tersenyum kecut. Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya, Mas. Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni SANGKAN PARANING DUMADI.

BUKAN materi sebanyak apa pun. Saya yakin, semua yang kita miliki di dunia ini hanya sementara dan ketika kematian datang tidak ada yang bisa dibawa. Hidup hanyalah sementara dan kita tidak tahu di mana akan terlahir kembali.

Mas bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya.

Ia mengelus bahu saya. saya tiba-tiba teringat almarhum abah.

Di pesawat, seusai take off, saya melempar mata ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung bertimbun-timbun bagai permadani putih.

Semua manusia sungguh semata hanya sedang menunggu giliran dijemput maut. Manusia sama sekali tiada nilainya, tiada harganya, tiada pengaruhnya bagi jagat raya.