Hal-hal yang bisa kita pelajari dari Ban untuk hidup kita

Seorang anak memperhatikan ayahnya yang sedang mengganti ban mobil mereka.
Dia terheran-heran mengapa ayahnya mau repot-repot mengerjakan ini dan tidak memanggil orang bengkel saja untuk mengerjakannya.

Sang ayah tersenyum. “Sini nak, ada kesenangan tersendiri ketika kita mengganti ban, karena mengingatkan kita tentang filosofi ban yang bisa kita pelajari untuk hidup kita” kata ayah.

“Belajar dari ban?” tanya sang anak heran.

Saya ayah tertawa, Perhatikan ban ini dengan segala sifat-sifatnya.

Pertama, ban selalu konsisten bentuknya, Bundar.
Apakah dia dipasang di sepeda roda tiga, motor balap ataupun roda pesawat terbang. Dia tidak pernah berubah menjadi segi tiga atau segi empat.

Kedua, ban selalu mengalami kejadian terberat.
Ketika melewati jalan berlubang, aspal panas, kotoran hewan dan juga banjir maka dia dulu yang merasakan secara langsung.

Ketiga, ban selalu menanggung beban terberat baik ketika mobil sedang berjalan maupun berhenti, ketika mobil sedang kosong maupun saat penuh penumpang dan barang.

Yang keempat, ban tidak pernah sombong dan berat hati menolak permintaan pihak lain. Dia selalu senang bekerjasama.
Ketika pedal rem memerintahkannya berhenti, dia berhenti. Ketika pedal gas menyuruhnya lebih cepat, dia pun taat dan melesat.

Bayangkan kalau ban tidak suka kerjasama dan bekerja sebaliknya?
Saat direm malah ngebut dan saat digas malah berhenti?

“Wow, benar juga!” puji sang anak.

Sifat kelima ban adalah meski banyak hal penting yang dilakukannya, dia tetap rendah hati dan tidak mau menonjolkan diri.

Misalnya ketika di show room atau pemeran mobil, pengunjung lebih mengagumi bentuk body mobil itu, lalu ketika mereka masuk ke dalam, yang menerima pujian berikutnya adalah interior mobil itu. Sofanya empuk, AC-nya dingin, dashboardnya keren, dll.
Jarang sekali ada orang yang memperhatikan ban apalagi sampai memuji ban.

Padahal semua kehebatan mobil tidak akan berarti apa-apa kalau bannya kempes atau bocor.

Sang ayah selesai mengganti bannya, dan berdiri menatap hasil kerjanya dengan puas.

Yang keenam tentang filosofi ban adalah, betapa pun bagus dan hebatnya mobil yang kau miliki, atau sepeda yang kau punya, atau pesawat yang kita naiki, saat ban tidak berfungsi maka kita tidak akan bisa kemana-mana. Kita tidak akan pernah sampai ke tujuan.

Sang ayah menuntaskan penjelasannya, “Jadi kelak, meski kau menghadapi banyak masalah dibandingkan kawan-kawanmu, tidak mendapat pujian sebanyak kawan-kawanmu, bahkan terus menanggung beban berat di atas pundakmu, tetaplah kamu konsisten dengan kebaikan yang kau berikan, tetaplah mau bekerjasama dengan orang lain, jangan sombong dan merasa hebat sendiri, dan yang terpenting, tetaplah menjadi penggerak di manapun kau berada.”

Itulah yang ayah maksud dengan hal-hal yang bisa kita pelajari dari ban untuk hidup kita.

Semoga Tuhan tetap memberkati dan membimbing kita selalu.

Kami adalah edisi terbatas!

Suatu hari seorang cucu bertanya kepada kakeknya:

“Kakek, bagaimana kamu dapat hidup sebelumnya…

– Tanpa teknologi
– Tanpa internet
– Tanpa komputer
– Tanpa drones
– Tanpa bitcoin (uang virtual)
– Tanpa handphone (ponsel)
– Tanpa Facebook (media sosial)”

Kakeknya menjawab:

“Sama halnya dengan generasi yang hidup sekarang…

– Tanpa rasa kemanusiaan (rendahnya rasa kemanusiaan)
– Tanpa martabat (rendahnya martabat)
– Tanpa kasih sayang
– Kurangnya rasa malu
– Tanpa kehormatan
– Tanpa rasa hormat
– Tanpa jati diri
– Tanpa karakter
– Tanpa cinta
– Tanpa kesopanan”

“Kami yang saat ini kamu panggil ‘Tua’, telah di berkahi, perjalanan hidup kami adalah suatu ujian.”

“Ketika bersepeda kami tidak pernah menggunakan helm.”

“Setelah pulang sekolah kami mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) kami dan selalu pergi main ke padang rumput sampai senja.”

“Kami bermain dengan teman yang nyata bukan teman di internet.”

“Jika kami merasa haus, kami minum dari air mancur dan bukan dari air mineral kemasan botol.”

“Kami tidak pernah merasa kuatir akan sakit (jijik) ketika minum dari gelas yang sama dengan teman.”

“Kami tidak bertambah gemuk walaupun makan roti dan pasta setiap hari.”

“Tidak ada yang terjadi dengan kaki kami walaupun kami berjalan dengan kaki telanjang (tanpa menggunakan alas kaki).”

“Kami membuat mainan dengan tangan kami sendiri dan asik bermain dengan itu.”

“Orang tua kami tidak kaya tapi mereka memberikan begitu banyak cinta dan bukannya video game untuk membuat kami menjadi anak baik.”

“Kami tidak pernah memiliki handphone (ponsel), DVD, Play Stations, Xbox, komputer dan internet. Namun kami memiliki teman yang nyata.”

“Kami mengunjungi rumah teman kami tanpa harus mereka undang dan bercengkrama dengan mereka sambil menikmati roti & kue.

“Orang-orang dewasa tinggal berdekatan agar dapat menikmati (menghabiskan) waktu sesama mereka.”

“Kami mungkin memiliki foto hitam putih, namun kami menemukan kenangan yang begitu berwarna pada foto tersebut.”

“Kami adalah generasi yang unik dan lengkap, karena kami adalah generasi terakhir yang taat (mendengarkan) orang tua dan yang pertama yang mendengar dari anak-anaknya.”

“Kami adalah edisi terbatas!”

Menuai Cinta di Hati

Sebuah cerita dari Tiongkok. Di sebuah daerah tinggal seorang saudagar kaya raya. Dia mempunyai seorang hamba yang sangat lugu, begitu lugu, hingga orang-orang menyebutnya si bodoh.

Suatu kali sang tuan menyuruh si bodoh pergi ke sebuah perkampungan miskin untuk menagih hutang para penduduk di sana. “Hutang mereka sudah jatuh tempo”, kata sang tuan.

“Baik Tuan…” sahut si bodoh. “Tetapi nanti uangnya mau diapakan?”

“Belikan sesuatu yang aku belum punyai” jawab sang tuan.

Maka pergilah si bodoh ke perkampungan yang dimaksud. Cukup kerepotan juga si bodoh menjalankan tugasnya, mengumpulkan receh demi receh uang hutang dari para penduduk kampung.

Para penduduk itu memang sangat miskin, dan pula ketika itu tengah terjadi kemarau panjang.

Akhirnya si bodoh berhasil juga menyelesaikan tugasnya. Dalam perjalanan pulang ia teringat pesan tuannya.

“Belikan sesuatu yang belum aku miliki.”
“Apa, ya?” tanya si bodoh dalam hati.
“Tuanku sangat kaya, apa lagi yang belum dia punyai?”

Setelah berpikir agak lama, si bodoh pun menemukan jawabannya. Dia kembali ke perkampungan miskin tadi. Lalu dia bagikan lagi uang yang sudah dikumpulkannya tadi kepada para penduduk.

“Tuanku, memberikan uang ini kepada kalian” katanya.
Para penduduk sangat gembira. Mereka memuji kemurahan hati sang tuan.

Ketika si bodoh pulang dan melaporkan apa yang telah dilakukannya, sang tuan geleng-geleng kepala. “Benar-benar bodoh” omelnya.

Waktu berlalu. Terjadilah hal yang tidak disangka-sangka, pergantian pemimpin karena pemberontakan membuat usaha sang tuan tidak semulus dulu.

Belum lagi bencana banjir yang menghabiskan semua harta bendanya.

Pendek kata sang tuan jatuh bangkrut dan melarat. Dia terlunta-lunta meninggalkan rumahnya. Hanya si bodoh yang ikut serta.

Ketika tiba di sebuah kampung, entah mengapa para penduduknya menyambut mereka dengan riang dan hangat, mereka menyediakan tumpangan dan makanan buat sang tuan.

“Siapakah para penduduk kampung itu, dan mengapa mereka sampai mau berbaik hati menolongku” tanya sang tuan.

“Dulu tuan pernah menyuruh saya menagih hutang kepada para penduduk miskin kampung ini” jawab si bodoh.

“Tuan berpesan agar uang yang terkumpul saya belikan sesuatu yang belum tuan punyai. Ketika itu saya berpikir, tuan sudah memiliki segala sesuatu. Satu-satunya hal yang belum tuanku punyai adalah cinta di hati mereka. Maka saya membagikan uang itu kepada mereka atas nama tuan. Sekarang tuan menuai cinta mereka.”

Salam Sejahtera…

Yang merasa bodoh berdiri

Guru : “Kalian ini ngobrol saja kerjaannya… Apa kalian tidak ada yang mau mendengarkan pelajaran?”
Murid : “Tidak Buuu…” Murid-murid serentak menjawab (Sang gurupun makin kesal)
Guru : “Dasar kalian murid-murid bodoh… Kenapa kalian bisa masuk sekolah ini??”
Murid : “Karena kami ingin pintar, Bu…”
Guru : “Kalau begitu siapa yang merasa bodoh berdiri! Biar nanti saya ajari…” (Murid-muridpun hening karena tidak ada yang merasa dirinya bodoh, tapi tiba-tiba Edo berdiri)
Guru : “Bagus Edo, kamu merasa diri kamu masih bodoh yah?”
Edo : “Tidak Buu…”
Guru : “Lalu kenapa kamu berdiri?”
Edo : “Saya tidak tega saja, Bu…”
Guru : “Gak tega kenapa???”
Edo : “Ngeliat ibu berdiri sendirian…”
Guru : “!@#@#@!@!!@#?@@@????”

Wkwkwkkk jebrettt…

Pertapa dan Pelacur

Ada seorang pertapa tinggal di asrama yang secara kebetulan tepat berhadapan dengan rumah bordil di mana tinggal seorang pelacur. Setiap hari ketika pertapa akan melakukan meditasi, dia melihat para lelaki datang dan pergi dari rumah pelacur itu. Dia melihat pelacur itu sendiri menyambut dan mengantar tamu-tamunya. Setiap hari pertapa itu membayangkan dan merenungkan perbuatan memalukan yang berlangsung di kamar pelacur itu, dan hatinya dipenuhi oleh kebencian akan kebobrokan moral dari pelacur itu.

Di lain sisi, setiap hari pelacur itu melihat sang pertapa dalam praktek-praktek spiritualnya (sadhana). Dia berpikir betapa indahnya untuk menjadi demikian suci, untuk menggunakan waktu dalam doa dan meditasi. Tapi kemudian dia berpikir bahwa, “Nasibku memang menjadi pelacur. Ibuku dulu adalah seorang pelacur dan mungkin putriku nanti juga akan menjadi pelacur (karena keterpaksaan).”

Pertapa dan pelacur itu mati pada hari yang sama dan berdiri di depan Sang Hyang Yama bersama-sama. Tanpa diduga sama sekali, pertapa itu dicela karena kesalahannya. Pertapa heran dan dia protes, “Hidupku adalah hidup yang suci. Aku telah menghabiskan hari-hariku untuk doa dan meditasi.” “Ya betul,” kata Yama, “tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan suci itu, pikiran dan hatimu dipenuhi oleh penilaian jahat dan jiwamu dikotori oleh bayangan kebencian.”

Pelacur itu malah dipuji karena kebajikannya. “Saya tidak mengerti,” kata pelacur itu, “selama hidupku aku telah menjual tubuhku kepada setiap lelaki yang memberikan harga pantas.” Yama menjawab, “Lingkungan hidupmu menempatkan kamu dalam sebuah rumah bordil. Kamu lahir di sana, dan di luar kekuatanmu untuk melakukan selain dari hal itu. Tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan hina, pikiran dan hatimu selalu suci dan senantiasa dipusatkan dalam kontemplasi dan kesucian dari doa dan meditasi pertapa ini.”

Potongan kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri.
Chin Ning Chu memberi nasehat “Kebajikan bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang diberikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!”

Semoga semua makhluk berbahagia