Pertapa dan Pelacur

Ada seorang pertapa tinggal di asrama yang secara kebetulan tepat berhadapan dengan rumah bordil di mana tinggal seorang pelacur. Setiap hari ketika pertapa akan melakukan meditasi, dia melihat para lelaki datang dan pergi dari rumah pelacur itu. Dia melihat pelacur itu sendiri menyambut dan mengantar tamu-tamunya. Setiap hari pertapa itu membayangkan dan merenungkan perbuatan memalukan yang berlangsung di kamar pelacur itu, dan hatinya dipenuhi oleh kebencian akan kebobrokan moral dari pelacur itu.

Di lain sisi, setiap hari pelacur itu melihat sang pertapa dalam praktek-praktek spiritualnya (sadhana). Dia berpikir betapa indahnya untuk menjadi demikian suci, untuk menggunakan waktu dalam doa dan meditasi. Tapi kemudian dia berpikir bahwa, “Nasibku memang menjadi pelacur. Ibuku dulu adalah seorang pelacur dan mungkin putriku nanti juga akan menjadi pelacur (karena keterpaksaan).”

Pertapa dan pelacur itu mati pada hari yang sama dan berdiri di depan Sang Hyang Yama bersama-sama. Tanpa diduga sama sekali, pertapa itu dicela karena kesalahannya. Pertapa heran dan dia protes, “Hidupku adalah hidup yang suci. Aku telah menghabiskan hari-hariku untuk doa dan meditasi.” “Ya betul,” kata Yama, “tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan suci itu, pikiran dan hatimu dipenuhi oleh penilaian jahat dan jiwamu dikotori oleh bayangan kebencian.”

Pelacur itu malah dipuji karena kebajikannya. “Saya tidak mengerti,” kata pelacur itu, “selama hidupku aku telah menjual tubuhku kepada setiap lelaki yang memberikan harga pantas.” Yama menjawab, “Lingkungan hidupmu menempatkan kamu dalam sebuah rumah bordil. Kamu lahir di sana, dan di luar kekuatanmu untuk melakukan selain dari hal itu. Tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan hina, pikiran dan hatimu selalu suci dan senantiasa dipusatkan dalam kontemplasi dan kesucian dari doa dan meditasi pertapa ini.”

Potongan kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri.
Chin Ning Chu memberi nasehat “Kebajikan bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang diberikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!”

Semoga semua makhluk berbahagia

Kupu-kupu di atas mata air

Dalam kehidupan NYATA kadang orang suka mempermasalahkan hal yang KECIL dan tidak PENTING, sehingga akhirnya merusak NILAI yang BESAR.

Persahabatan yang INDAH selama puluhan tahun BERUBAH menjadi permusuhan yang HEBAT, karena SEPATAH kata PEDAS yang tidak DISENGAJA.

Keluarga yang RUKUN dan HARMONIS pun bisa HANCUR hanya karena perdebatan KECIL yang tidak PENTING.

Yang REMEH kerap dipermasalahkan, tetapi yang lebih penting dan berharga LUPA dan TERABAIKAN.

Seribu KEBAIKAN sering tidak BERARTI, tapi setitik kekurangan diingat seumur hidup.

Mari belajar MENERIMA kekurangan apapun yang ada dalam kehidupan ini.

Bukankah tak ada yang SEMPURNA didunia ini?

SEHATI bukan karena MEMBERI, tetapi sehati karena saling MEMAHAMI.
BETAH bukan karena MEWAH, tetapi betah karena saling MENGALAH.

BERSAMA bukan karena HARTA DUNIA, tetapi bersama karena SALING MENGISI.

Kalau ingin memelihara kupu-kupu, jangan tangkap kupu-kupunya, karena pasti ia akan terbang.

Tetapi tanamlah bunga,​ maka kupu-kupu akan datang dengan sendirinya dan membentangkan sayap-sayapnya yang indah.
Bahkan bukan hanya kupu-kupu yang datang, tetapi kawanan yang lain (lebah, capung, dll) juga datang menambah warna-warni dari keindahan.

Sama halnya dalam kehidupan di dunia ini…

​Ketika ingin kebahagiaan​ dan berkah, tanam saja kebaikan demi kebaikan, kebajikan demi kebajikan.

Maka kebahagiaan dan berkah akan datang berlimpah, bukan hanya satu, tetapi seribu seperti hujan dan seterusnya​.

Jangan pernah lelah untuk berbuat baik.

Saling pengertian dan kalau ada kesalahan saling memaafkan niscaya hidup ini akan selalu damai dan bahagia.